MUSIK ETNIK : PELENGKAP PENDERITA ?
Julianus Limbeng
Dalam sebuah catatan Tony Prabowo dikatakan bahwa musik kita dewasa ini menunjukkan gejala yang mencemaskan, yaitu ada ambivalensi dalam sikap para komponis Indonesia terhadap kekaryaan, terutama yang bersangkutan dengan apa yang disebut ‘musik baru’ atau kontemporer. Para pemusik ingin mengasah kreativitas, ingin dimengerti dan diterima masyarakat luas, tapi juga ingin memenuhi tutuntutan world music untuk menegaskan identitas mereka, terutama identitas musiknya.
Hal ini terjadi secara sepintas dapat dipahami karena ada kaitan antara bermusik murni dan kekomersialan sebuah karya. Oleh sebab itu meskipun tidak serta-merta bertentangan, juga sangatlah tidak mudah untuk memadukan dua unsur tersebut dan membutuhkan satu kepiawaian. Hasilnya selama ini yang kita lihat adalah penyelipan unsur-unsur musik tradisional ke dalam idiom musik barat yang mudah dicerna seperti pop dan jazz dengan cara setengah-setengah tanpa mempertimbangkan ‘spiritualitas’ dari musik etnik itu sendiri.
Tendensi ini tak jarang diimbuhi apologia terhadap musik tradisi dan musik modern itu sendiri. Tradisi dilihat sebagai penangkal yang lain, yang asing, sementara para komponis kita semakin lama semakin tak percaya pada kekuatan tradisi untuk berdiri sendiri, tanpa mediasi, tanpa ornamentasi. Oleh sebab itu para seniman melihat bahwa musik tradisi harus digabung dengan musik barat untuk ‘mengangkat’ sekaligus untuk membedakan ciri musiknya. Apakah memang musik etnik tidak dapat berdiri sendiri tanpa ‘bantuan’ idiom musik Barat ?
Memang kalau dilihat dari segi fungsi dan penggunaan musik etnik bagi masyarakat pendukungnya, memang setidaknya dari sepuluh fungsi musik yang dipaparkan oleh Alan P Meriam , maka fungsi musik etnik yang berkaitan dengan upacara sangatlah besar. Musik etnik itu tidak dapat dipandang berdasarkan sisi Barat saja. Tetapi jauh dari itu bagaimana musik itu sendiri berperan dan berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh, gendang silengguri pada masyarakat Karo yang hanya menggunakan tiga buah instrumen musik , yaitu kulcapi (long neck lute), keteng-keteng (tube zhyter) dan mangkuk mbentar (bowl), dengan melodi yang sangat terbatas, tetapi mampu memberikan makna yang sangat mendalam bagi masyarakatnya. Kehadiran bunyi-bunyian alat musik tersebut jauh lebih berarti dari bunyi-bunyi musik lain yang jauh lebih kompleks. Musik tersebut mampu membuat masyarakat pendukungnya menjadi kesurupan (trance), padahal melodinya merupakan pengulangan-pengulangan kecil (iteratif) saja. Hal semacam ini banyak terdapat di dalam musik etnik Indonesia.
Memang kondisi musik etnik jarang sekali dipandang kecuali segelintir orang yang mempunyai ketertarikan sendiri akan hal itu. Hal ini dapat kita lihat dari produk-produk yang berkaitan dengan musik etnik hanya terbatas lokal saja, kecuali Jawa, Bali dan Sunda. Di Indonesia hanya terbilang jari industri rekaman yang fokus ke musik etnik karena tuntutan nilai ekonomi. Industri rekaman dalam skala luas di Jakarta ada Gema Nada Pertiwi Record dan produksi-produksi RRI, namun industri-industri rekaman musik daerah hanya terbatas kedaerahannya saja misalnya Aneka di Bali, Lokananta di Solo, Tanama Minangkabau dan Melayu, Gesit Record di Sumatera Utara dan sebagainya. Merekam musik etnik adalah hanya idealisme saja, secara nilai ekonomi juga tidak terlalu menguntungkan.
Demikian juga misalnya kurikulum di sekolah-sekolah formal, jarang sekali kita lihat pelajaran tentang musik etnik Indonesia meskipun sekarang sudah ada Pelajaran Muatan Lokal. Saya tidak tahu sejauh mana sudah yang dilakukan oleh Pendidikan Seni Nusantara yang dikelola Endo Suanda di dalam pengadaan bahan tentang musik-musik Nusantara bagi sekolah formal. Tetapi setidaknya kurikulum sekolah-sekolah formal selama ini juga besar sekali perannya membentuk pandangan dan pengalaman musikal masyarakat kita, (termasuk juga pemusik-pemusik). Bahkan juga kita sadar atau tidak sadar menilai antara musik Barat dengan non-Barat.
Di dalam pembuatan karya-karya baru, musik etnik sering merupakan sebuah inspirasi yang ‘menarik’ dikolaborasikan dengan musik Barat. Namun tidak jarang juga adanya ‘pemaksaan’ atau ‘pembaratan’ musik etnik itu sendiri. Banyak musik etnik yang tidak mengenal tonalitas dipaksakan berkolaborasi dengan musik Barat yang tonalitas. Musik etnik berperan hanya memberikan tambahan sedikit rasa, dan rasa itu juga tergantung kepada selera sipembuat.
Justru itu, apa yang perlu kita lakukan dengan musik etnik kita sendiri ? Ada dua hal yang cukup mendasar berkaitan dengan musik etnik itu sendiri. Pertama, ada musik yang tetap hidup dan dapat menghidupi dirinya sendiri berkaitan dengan hal-hal disekitarnya, misalnya kebutuhan masyarakat, senimannya dan lain sebagainya, Kedua, ada musik etnik yang memang memerlukan suntikan ‘kehidupan’ yang bukan saja merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara luas. Memang musik (kesenian) bergerak dengan jalurnya sendiri dan tidak terlalu bermasalah dengan persoalan infrastruktur. Dengan atau tanpa dukungan infrastrukturpun sebenarnya musik tetap jalan sepanjang masyarakat pendukungnya masih membutuhkan itu. Disamping itu juga dibutuhkan seniman-seniman yang terus berkreasi. Tanpa karya atau kreasi maka kesenian itu juga akan menjadi kering. Namun bagaimanakah kita memperlakukan musik etnik kita. Saya pikir sebagai owner kita mesti punya perhatian terhadap musik kita.
Ada beberapa hal yang penting di dalam mengelola musik-musik etnik kita, antara lain faktor pendidikan dan peningkatan pengetahuan seniman. Pendidikan menjadi tempat pembinaan dan pengkaderan untuk menularkan pendidikan seni ke arena pendidikan non-formal. Pendidikan formal, SMKI dan perguruan-perguruan tinggi seni perlu menekankan pengetahuan tentang kesenian Indonesia (musik) meskipun mayornya adalah musik Barat. Ini penting sekali, karena berkaitan dengan jati diri bangsa kita sendiri. Setidaknyalah jurusan musik mengetahui musik negerinya sendiri. Usaha lain yang juga perlu dilakukan adalah memberikan pengetahuan berbagai hal kepada seniman.
Suatu ketika, Kenny G meniup saxophone dengan teknik circular breathing (meniup tanpa berhenti) selama lebih kurang hitungan menit, maka penonton menganggap hal itu merupakan sound efek atau synthesizer karena jarang dilakukan oleh pemain alat tiup Barat. Padahal seorang pemain alat musik tiup (musik etnik) di Indonesia hampir seluruhnya mengenal teknik tersebut. Di Bali misalnya seorang pemain suling akan meniup seruling dengan teknik itu yang disebut dengan ngunjal angkihan, demikian di Batak Toba disebut marsiulak hosa, di Karo disebut pulunama, dan di daerah-daerah lainnya dengan penyebutan yang berbeda-beda.
Seiring dengan kita ingin didengar dan kita ingin berbicara lewat musik, maka kita semakin jauh dari lokal tradisi kita sendiri dan tenggelam dalam lagu lama, yaitu pada satu sisi kita ingin menangkal/menolak barat, tetapi berakhir dan tenggelam di dalamnya. Padahal Indonesia mempunyai musik yang sangat kaya sekali dan membutuhkan tangan-tangan trampil untuk menggali, menggumuli serta mengemasnya dalam bentuk baru tanpa kehilangan rohnya. Inilah yang perlu kita pikirkan dan perhatikan bersama.
Jakarta, 10 September 2004.
Dalam sebuah catatan Tony Prabowo dikatakan bahwa musik kita dewasa ini menunjukkan gejala yang mencemaskan, yaitu ada ambivalensi dalam sikap para komponis Indonesia terhadap kekaryaan, terutama yang bersangkutan dengan apa yang disebut ‘musik baru’ atau kontemporer. Para pemusik ingin mengasah kreativitas, ingin dimengerti dan diterima masyarakat luas, tapi juga ingin memenuhi tutuntutan world music untuk menegaskan identitas mereka, terutama identitas musiknya.
Hal ini terjadi secara sepintas dapat dipahami karena ada kaitan antara bermusik murni dan kekomersialan sebuah karya. Oleh sebab itu meskipun tidak serta-merta bertentangan, juga sangatlah tidak mudah untuk memadukan dua unsur tersebut dan membutuhkan satu kepiawaian. Hasilnya selama ini yang kita lihat adalah penyelipan unsur-unsur musik tradisional ke dalam idiom musik barat yang mudah dicerna seperti pop dan jazz dengan cara setengah-setengah tanpa mempertimbangkan ‘spiritualitas’ dari musik etnik itu sendiri.
Tendensi ini tak jarang diimbuhi apologia terhadap musik tradisi dan musik modern itu sendiri. Tradisi dilihat sebagai penangkal yang lain, yang asing, sementara para komponis kita semakin lama semakin tak percaya pada kekuatan tradisi untuk berdiri sendiri, tanpa mediasi, tanpa ornamentasi. Oleh sebab itu para seniman melihat bahwa musik tradisi harus digabung dengan musik barat untuk ‘mengangkat’ sekaligus untuk membedakan ciri musiknya. Apakah memang musik etnik tidak dapat berdiri sendiri tanpa ‘bantuan’ idiom musik Barat ?
Memang kalau dilihat dari segi fungsi dan penggunaan musik etnik bagi masyarakat pendukungnya, memang setidaknya dari sepuluh fungsi musik yang dipaparkan oleh Alan P Meriam , maka fungsi musik etnik yang berkaitan dengan upacara sangatlah besar. Musik etnik itu tidak dapat dipandang berdasarkan sisi Barat saja. Tetapi jauh dari itu bagaimana musik itu sendiri berperan dan berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh, gendang silengguri pada masyarakat Karo yang hanya menggunakan tiga buah instrumen musik , yaitu kulcapi (long neck lute), keteng-keteng (tube zhyter) dan mangkuk mbentar (bowl), dengan melodi yang sangat terbatas, tetapi mampu memberikan makna yang sangat mendalam bagi masyarakatnya. Kehadiran bunyi-bunyian alat musik tersebut jauh lebih berarti dari bunyi-bunyi musik lain yang jauh lebih kompleks. Musik tersebut mampu membuat masyarakat pendukungnya menjadi kesurupan (trance), padahal melodinya merupakan pengulangan-pengulangan kecil (iteratif) saja. Hal semacam ini banyak terdapat di dalam musik etnik Indonesia.
Memang kondisi musik etnik jarang sekali dipandang kecuali segelintir orang yang mempunyai ketertarikan sendiri akan hal itu. Hal ini dapat kita lihat dari produk-produk yang berkaitan dengan musik etnik hanya terbatas lokal saja, kecuali Jawa, Bali dan Sunda. Di Indonesia hanya terbilang jari industri rekaman yang fokus ke musik etnik karena tuntutan nilai ekonomi. Industri rekaman dalam skala luas di Jakarta ada Gema Nada Pertiwi Record dan produksi-produksi RRI, namun industri-industri rekaman musik daerah hanya terbatas kedaerahannya saja misalnya Aneka di Bali, Lokananta di Solo, Tanama Minangkabau dan Melayu, Gesit Record di Sumatera Utara dan sebagainya. Merekam musik etnik adalah hanya idealisme saja, secara nilai ekonomi juga tidak terlalu menguntungkan.
Demikian juga misalnya kurikulum di sekolah-sekolah formal, jarang sekali kita lihat pelajaran tentang musik etnik Indonesia meskipun sekarang sudah ada Pelajaran Muatan Lokal. Saya tidak tahu sejauh mana sudah yang dilakukan oleh Pendidikan Seni Nusantara yang dikelola Endo Suanda di dalam pengadaan bahan tentang musik-musik Nusantara bagi sekolah formal. Tetapi setidaknya kurikulum sekolah-sekolah formal selama ini juga besar sekali perannya membentuk pandangan dan pengalaman musikal masyarakat kita, (termasuk juga pemusik-pemusik). Bahkan juga kita sadar atau tidak sadar menilai antara musik Barat dengan non-Barat.
Di dalam pembuatan karya-karya baru, musik etnik sering merupakan sebuah inspirasi yang ‘menarik’ dikolaborasikan dengan musik Barat. Namun tidak jarang juga adanya ‘pemaksaan’ atau ‘pembaratan’ musik etnik itu sendiri. Banyak musik etnik yang tidak mengenal tonalitas dipaksakan berkolaborasi dengan musik Barat yang tonalitas. Musik etnik berperan hanya memberikan tambahan sedikit rasa, dan rasa itu juga tergantung kepada selera sipembuat.
Justru itu, apa yang perlu kita lakukan dengan musik etnik kita sendiri ? Ada dua hal yang cukup mendasar berkaitan dengan musik etnik itu sendiri. Pertama, ada musik yang tetap hidup dan dapat menghidupi dirinya sendiri berkaitan dengan hal-hal disekitarnya, misalnya kebutuhan masyarakat, senimannya dan lain sebagainya, Kedua, ada musik etnik yang memang memerlukan suntikan ‘kehidupan’ yang bukan saja merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara luas. Memang musik (kesenian) bergerak dengan jalurnya sendiri dan tidak terlalu bermasalah dengan persoalan infrastruktur. Dengan atau tanpa dukungan infrastrukturpun sebenarnya musik tetap jalan sepanjang masyarakat pendukungnya masih membutuhkan itu. Disamping itu juga dibutuhkan seniman-seniman yang terus berkreasi. Tanpa karya atau kreasi maka kesenian itu juga akan menjadi kering. Namun bagaimanakah kita memperlakukan musik etnik kita. Saya pikir sebagai owner kita mesti punya perhatian terhadap musik kita.
Ada beberapa hal yang penting di dalam mengelola musik-musik etnik kita, antara lain faktor pendidikan dan peningkatan pengetahuan seniman. Pendidikan menjadi tempat pembinaan dan pengkaderan untuk menularkan pendidikan seni ke arena pendidikan non-formal. Pendidikan formal, SMKI dan perguruan-perguruan tinggi seni perlu menekankan pengetahuan tentang kesenian Indonesia (musik) meskipun mayornya adalah musik Barat. Ini penting sekali, karena berkaitan dengan jati diri bangsa kita sendiri. Setidaknyalah jurusan musik mengetahui musik negerinya sendiri. Usaha lain yang juga perlu dilakukan adalah memberikan pengetahuan berbagai hal kepada seniman.
Suatu ketika, Kenny G meniup saxophone dengan teknik circular breathing (meniup tanpa berhenti) selama lebih kurang hitungan menit, maka penonton menganggap hal itu merupakan sound efek atau synthesizer karena jarang dilakukan oleh pemain alat tiup Barat. Padahal seorang pemain alat musik tiup (musik etnik) di Indonesia hampir seluruhnya mengenal teknik tersebut. Di Bali misalnya seorang pemain suling akan meniup seruling dengan teknik itu yang disebut dengan ngunjal angkihan, demikian di Batak Toba disebut marsiulak hosa, di Karo disebut pulunama, dan di daerah-daerah lainnya dengan penyebutan yang berbeda-beda.
Seiring dengan kita ingin didengar dan kita ingin berbicara lewat musik, maka kita semakin jauh dari lokal tradisi kita sendiri dan tenggelam dalam lagu lama, yaitu pada satu sisi kita ingin menangkal/menolak barat, tetapi berakhir dan tenggelam di dalamnya. Padahal Indonesia mempunyai musik yang sangat kaya sekali dan membutuhkan tangan-tangan trampil untuk menggali, menggumuli serta mengemasnya dalam bentuk baru tanpa kehilangan rohnya. Inilah yang perlu kita pikirkan dan perhatikan bersama.
Jakarta, 10 September 2004.
Comments
www.kiostiket.com