KEMBALI KEPADA PEMURNIAN JIWA NUSANTARA
Julianus P Limbeng
“Kemampuan Indonesia untuk menolong diri sendiri perlu segera diwujudkan, karena tidak ada satu Negara pun yang secara tulus mau menolong kita. Kata kuncinya adalah Persatuan dan Kesatuan yang kokoh dari segenap komponen bangsa dalam bingkai
wawasan kebangsaan Indonesia.”[1]
()
*****
Konsep Jiwa Nusantara
Sebelum berangkat kepada konsep ‘pemurnian jiwa nusantara’, maka terlebih dahulu harus berbicara tentang konsep nusantara itu sendiri, yang dapat dipandang dari sisi diakronis dan sinkronis, historis dan kontinuitas. Dua sisi tersebut dapat diletakkan untuk memahami sejauhmana impelementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini. Artinya penelusuran konsep itu berdasarkan dimensi waktu (historical) sangat penting, karena ia terkait dengan munculnya konsep bangsa dan Negara Indonesia itu sendiri. Namun dalam pembahasannya, tulisan ini akan lebih difokuskan pada ranah multicultural dan kebangkitan budaya nusantara (baca: Indonesia).
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa konsep nusantara itu sendiri telah ada jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Hal ini lahir dikarenakan adanya kesadaran geopolitik dan geostrategis berdasarkan kewilayahan nusantara yang memang terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil. Sumpah Palapa-nya Gadjah Mada yang tidak akan makan buah palapa sebelum nusantara bersatu merupakan satu cita-cita anak bangsa yang cukup kita kenal selama ini dalam upaya mewujudkan bersatunya pulau-pulau yang membentang dari ujung Timur sampai ujung Barat tersebut. Demikian juga setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, konsep nusantara itu diadaptasi kembali sebagai fondasi atau dasar dan bingkai berbangsa dan bernegara. Undang-undang Dasar 1945 serta dasar Negara kita Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika jelas sekali adanya kesadaran para pendiri bangsa (nation founder) atau pemimpin kita akan keberagaman bangsa Indonesia. Jika keberagaman itu kita sebut sebagai sebuah tubuh, maka untuk hidup maka ia perlu jiwa. Tubuh dan jiwa (hylo dan morf). Keberagaman itu semua dapat dipersatukan dengan satu jiwa, yaitu jiwa nusantara dengan dasar Pancasila.
Dalam pidatonya yang terkenal, “to build the world a new” di depan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bung Karno pernah menawarkan Pancasila sebagai jiwa dunia timur, bukan hanya Indonesia, karena menurut dia sangat relevan untuk membangun sebuah dunia yang baru, yang damai bagi seluruh umat manusia.[2] Demikian juga halnya dengan Indonesia keberagaman tersebutlah sebagai dasar pemikiran untuk membuat dasar Negara Pancasila. Karena pada dasarnya memang kita beragam. Beragam agama, budaya, suku, bahasa yang tersebar di hamparan 16.000 lebih pulau-pulau yang diantarai selat dan laut (nusantara). Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan konsep Wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara[3] ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya. Unsur-unsur dasar wawasan nusantara itu ialah: wadah (contour organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wawantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang :
(1) satu kesatuan wilayah;
(2) satu kesatuan bangsa;
(3) satu kesatuan budaya;
(4) satu kesatuan ekonomi; dan
(5) satu kesatuan hankam;
Pemahaman dan kesadaran setiap individu bangsa Indonesia tentang konsep tersebutlah yang dapat disebut sebagai jiwa atau roh nusantara itu sendiri. Yaitu kesadaran setiap individu secara politis terikat dalam kesatuan akan wilayah, bangsa, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan, yaitu Nusantara – Indonesia. Memang secara jujur dapat dirasakan sulit untuk menerima keBhinnekaan itu sebagai jiwa nusantara seperti yang pernah dicapai oleh Mpu Tantular “Bhinneka tunggal Ika, Tan hana Dharma Mangrwa”.[4] Walau tampak dua, berbeda, namun satu jua adanya. Namun setidaknya ia dapat difahami dalam konteks politis kebangsaan.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat dalam ‘koridor’ wawasan nusantara.
Namun disadari, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan politik yang berjalan progresif, konsep nusantara itu sendiri hampir-hampir saja tidak ‘punya kekuatan’ lagi. Akibat berbagai aspek sosial budaya dan politik ia hampir terkalahkan oleh superioritas budaya, superioritas kesukuan, superioritas ekonomi, superioritas kedaerahan yang pada akhirnya dapat mengancam persatuan dan kesatuan kita dalam hidup berebangsa dan bernegara. Oleh sebab itu untuk membangkitkan kembali keterpurukan kita di berbagai bidang, khususnya kebudayaan kita yang multicultural ini, kiranya perlu ditumbuhkan kembali makna nusantara itu. Artinya kita perlu menerjemahkan kembali dalam konteks pembangunan kebudayaan kita saat ini secara kontekstual.
Tantangan yang mempengaruhi jiwa nusantara itu berasal dari dalam dan luar diri kita sendiri yang menjadikan konsep nusantara itu secara perlahan-lahan mengalami proses degradasi makna yang pada akhirnya dapat mengancam jiwa nusantara itu sendiri. Reformasi dan era otonomi daerah yang dihembuskan dan telah dipraktekkan sekarang ini, disadari telah membuka peluang untuk membangkitkan kembali rasa kedaerahan yang bisa disebut ‘berlebihan’. Faktor-faktor lain misalnya adalah masalah kesenjangan ekonomi, pembangunan struktur dan infrastruktur, rasa ketidak adilan dan keberpihakan hukum pada segelintir orang, dan berbagai macam persoalan-persoalan bangsa yang belum terselesaikan dengan baik. Selain itu juga, terjadi penipisan pemahaman akan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam merebut dan memperjuangkan wilayah nusantara dari cengekeraman bangsa asing. Ini semua berdampak terhadap memudarnya rasa kebersamaan sebagai satu wilayah, satu ekonomi, satu bangsa, satu ekonomi dan sebagainya sebagai roh nusantara itu sendiri.
Selain tantangan dari dalam diri kita sendiri, tantangan dari luar juga memang disadari sangat berpengaruh besar. Masalah luar tersebut misalnya adalah era globalisasi yang tidak terhindarkan. Derasnya arus informasi yang menyentuh pada segala titik membuat konsep-konsep masyarakat menjadi berubah. Apalagi berbagai persoalan-persoalan di dalam negeri sendiri yang tidak dapat ditangani dengan ‘baik’ dapat berpengaruh terhadap pola-pola pikir yang akhirnya diwujudkan dalam prilaku.
Perlu perenungan yang mendalam bagaimana untuk menghidupkan kembali jiwa nusantara ini pada setiap individu dalam konteks berbangsa dan bernegara, disamping perlunya juga menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan yang mendukung ke arah memudarnya nilai-nilai kesatuan yang menjadi rohnya nusantara tadi. Jika tidak kotak-kotak bangsa kita akan semakin jelas yang pada akhirnya dapat mengancam persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa dan Negara. Oleh sebab itu sangat diperlukan pemahaman dan bagaimana pemahaman tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hal yang penting adalah pemahaman akan konsep geopolitis dan geostrategis.
Sebagai satu kesatuan Negara kepulauan, secara konseptual geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut dengan wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas dan aktif. Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep ketahanan nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideology, politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan.
Nusantara (archipelago) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan [pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan wawasan nusantara adalah konsep politik Indonesia memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya dan udara di atasnya yang tidak dapat terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan Negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Wawasan nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan Tap MPR No. IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi Negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Deklarasi Juanda.
Jiwa Multikultural dan Kebangkitan Kebudayaan
Jiwa Multikultural dan Kebangkitan Kebudayaan
Kesadaran akan kesatuan budaya bangsa kita sebagai bagian dari jiwa nusantara, maka kebudayaan kita juga perlu bangkit. Amanat Presiden Sukarno pada Peringatan hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 oktober 1959 di Surabaya, yang mengulangi kembali pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang disebut Manifesto Politik kiranya menjadi inspirasi kembali bagi kita untuk mencintai dan membangkitkan kebudayaan kita. Dalam pidatonya Presiden Soekarno mengatakan: “…Kenapa engkau pemuda dan pemudi tidak memperkembangkan kebudayaan nasional? Kenapa engkau tidak melindungi kebudayaan nasional? Kenapa engkau lebih cinbta kepada kebudayaan cha-cha-cha, rock ‘n roll dan lagu-lagu ngak-ngik-ngok?...”[5]
Seperti telah disinggung di atas, bahwa yang termasuk di dalam jiwa nusantara adalah aspek sosial budaya. Meskipun secara kenyataan kebudayaan Indonesia beragam (lebih 600 suku bangsa), tetapi secara geoplitik dan geostrategis kebudayaan yang beragam tersebut disebut dengan kebudayaan Indonesia atau kebudayaan nusantara. Kesadaran perlu ditumbuhkan kembali dan dipelihara dalam berbagai tatanan hidup berbangsa dan bernegara, khususnya ‘hidup berbudaya’ atau kebangkitan kebudayaan bangsa Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan yang dapat menjadi kekuatan, tetapi juga dapat menjadi potensi jika tidak adanya pemahaman keberagaman sebagai jiwa nusantara.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa yang termasuk di dalam jiwa nusantara adalah aspek sosial budaya. Meskipun secara kenyataan kebudayaan Indonesia beragam (lebih 600 suku bangsa), tetapi secara geoplitik dan geostrategis kebudayaan yang beragam tersebut disebut dengan kebudayaan Indonesia atau kebudayaan nusantara. Kesadaran perlu ditumbuhkan kembali dan dipelihara dalam berbagai tatanan hidup berbangsa dan bernegara, khususnya ‘hidup berbudaya’ atau kebangkitan kebudayaan bangsa Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan yang dapat menjadi kekuatan, tetapi juga dapat menjadi potensi jika tidak adanya pemahaman keberagaman sebagai jiwa nusantara.
Jiwa multikultural adalah jiwa kesatuan budaya, yaitu budaya Indonesia. Oleh sebab itu ia harus dipandang sebagai asset sekaligus kekuatan. Ia perlu dilestarikan sebagai kebudayaan Indonesia. Tetapi jika kita membangun sebuah pertanyaan, apakah ada kebudayaan Indonesia itu? Maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bisa ‘ada’ dan bisa ‘tidak’. Mengapa? Karena kebudayaan Indonesia sebenarnya lebih ditekankan kepada unsur kemajemukan. Secara geopolitik memang kita memahami dan sadar sebagai satu kesatuan kebudayaan Indonesia, tetapi dalam prakteknya kita tidak bisa memungkiri bahwa kita adalah berbeda atau aneka ragam dalam budaya. Pemahaman yang baik terhadap geopolitik dan geostrategis ini sangat penting artinya di dalam kebangkitan kebudayaan Indonesia. Karena keanekaragaman itu tidak hanya sebagai asset atau kekayaan, tetapi juga sekaligus sebagai tantangan ke arah mana kita mau bangkit. Berkaitan dengan itu, maka perlunya ada pemahaman histories yang baik tentang konsep jiwa nusantara itu kembali. Hal ini, kalau kita lihat kebelakang bangsa Indonesia yang sebelum membentuk dirinya sebagai satu bangsa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah hidup berabad-abad lamanya dalam kesatuan-kesatuan/komunitas-komunitas yang lebih kecil di berbagai daerah dengan warisan budaya yang beraneka ragam dan dengan pengalaman sejarah yang berbeda-beda pula. Barangkali inilah yang dapat kita sebut sebagai upaya pemurnian. Kembali kepada konsep awal yang telah digagas cukup baik oleh pendiri dan tokoh-tokoh bangsa kita dalam melihat keberagaman (multicultural) tersebut.
Penutup
Mengutip apa yang pernah ditulis oleh Jakop Oetama, ialah orientasi akan masa depan kebudayaan dan kebangkitan kebudayaan kita adalah perlunya memupuk pola pikir antara lain adalah, bekerja adalah sentral untuk hidup baik, diperlukan frugality, hemat, pendidikan syarat kemajuan, jasa (merit) sebagai penopang kemajuan, diperlukan kepercayaan yang melebihi lingkungan keluarga. Kode etik yang keras diperlukan untuk melawan korupsi yang merajalela di semua sector. Perlunya keadilan dan fair play yang universal dan impersonal. Kekuasan agar lebih horizontal dan tidak terkonsentrasi. Bagaimana memperolehnya? Yaitu pendidikan ditempatkan pada posisi dan peran yang menentukan. Tersangkut di dalamnya pendidikan karakter, budi pekerti, kepribadian, etika, pengetahuan kognitif, komunikasi, ilmu dan keahlian, kompetensi cultural dan nilai-nilai rohani (spiritual quotient). Dengan demikian daya tahan kita semakin kuat, dan kita akan mampu bangkit dan berbdiri melakukan berbagai hal untuk kemajuan bangsa dan Negara kita yang beragam dalam jiwa nusantara.
Jakarta, Mei 2008.
[1] Kutipan dari Ryamizard Ryacudu dalam Bilveer Sing (2005) Ryamizard: Sang Penelusur Jejak Gadjah Mada, Australia: Book House, hal. ix.
[2] Wandy N. Tuturoong (Ed.) Saatnya Anak Bangsa Bersuara: Bangkitlah Ibu Pertiwi!, Jakarta: One Earth Media bekerjasama dengan National Integration Movement, hal. Xxxi.
[3] Sumber: www.wikipedia.com, diakses tgl. 15 Mei 2008.
[4] Anand Khrisna (2005) Sebuah Refleksi Sejarah Indonesia Jaya, Jakarta: One Earth Media, hal. 65.
[5] Mauly Purba dan Ben M Pasaribu (2004) Musik Populer, Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Comments