MUSIK :
Tradisional dan MODERN
(Tinjauan Kritis Tentang Konsep)

Julianus P Limbeng
liembeng@yahoo.com

Abstrak :

This article describes meaning of traditional and modern that always used to differentiate between Indonesian ethnic music and Western music. Traditional and modern are two words who rightly had contamination meaning or floating term, because traditional and modern always interrelated with change. The modern things now maybe several years later will be worn out. This article critical use of the concept of tradition may make us fail to examine the key problem of the relationship between cultural persistence or continuity and cultural change, a problem which is to be approached not only in terms of cultural elements in themselves but also in historical process of social reproduction and social change in the population concerned.



PENDAHULUAN

Dalam keseharian kita sering sekali mendengar kata tradisional seperti pasar tradisional, makanan tradisional, pakaian tradisional, rumah tradisional, dan masih banyak kata-kata lain dengan imbuhan tradisional di belakangnya. Dengan adanya imbuhan kata tradisional tersebut dengan gampang otak kita akan langsung mengkategorikannya ke dalam kelompok tertentu yang telah terbentuk dalam pikiran kita. Biasanya berkaitan dengan sebuah dikotomi besar yang gampang dibedakan dengannya, yaitu lawan dari tradisional itu sendiri.

Demikian juga halnya dengan istilah musik “tradisional” dan musik “modern”, dua terminologi tersebut sangat akrab bagi kita di dalam membicarakan masalah musik. Secara gampang kita akan mengerti apa yang dimaksud dengan musik tradisional, dan apa yang dimaksud dengan musik modern. Apabila kedua terminology tersebut kita tinjau (review) lebih jauh sebenarnya dua kata tersebut (tradisional dan modern) menurut saya sering sekali kita mengartikan salah meskipun dapat dipahami. Kedua istilah tersebut adalah sebenarnya sangat longgar sekali dan kurang tepat sebagai sebuah konsep, karena kata tradisional dan modern adalah sangat erat kaitannya dengan perubahan.

Kalau kita melihat perkembangan penelitian-penelitian social yang berkaitan dengan kebudayaan pada umumnya, maka kata tradisional ini sendiri sebenarnya sudah semakin jarang dipergunakan karena munculnya konsep perubahan tersebut. Sebagai contoh barangkali kita bias melihat indeks sebuah buku tentang kebudayaan yang ditulis oleh Robert Borofsky ed (1994) Assessing Cultural Anthropology, dimana penulis-penulis di dalamnya dapat dikategorikan sebagai aliran postmodernist, seperti Foucault[1], Laura Nader, Roy A Rappaport, Andrew P. Vayda, Roger M. Keesing, dan lain-lain, maka kata tradisional itu sendiri tidak banyak lagi disinggung.

TRADISIONAL

Tradisional sering diartikan sebagai harta warisan dari generasi ke generasi dalam bentuk cultural artefact maupun cultural in action. Warisan-warisan ini antara lain susunan pemerintahan local, bahasa local, berbagai nilai dan norma-norma kemasyarakatan, berbagai bentuk kepercayaan, berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dan kesenian, semua ini adalah bagian dari apa yang diterimakan oleh sejarah itu. Tradisional bekaitan dengan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan segala ciri yang melekat dengannya, barangkali berhubungan dengan segala kekunoannya (ancient).

Tradisional sebagai sebuah sifat mengemukakan 4 ciri, yaitu pertama, ia memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang mendukungnya; kedua, ia merupakan perncerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan, karena dinamik dari masyarakat yang menunjangnya memang demikian; ketiga, ia merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi; keempat, ia bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat pendukungnya (Kayam, 1981:60). Demikian juga degan pendapat l;ain yang mengatakan bahwa tradisi itu merupakan milik suatu kelompok pendukung kebudayaan tertentu (Sedyawati, 1981:39). Dari dua apendapat ini sebenarnya tradisi itu erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya.

Tradisi (tradition) sering juga dianggap sebagai adat-istiadat, yaitu suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi system budaya dari satu kebudayaan untuk mengatur tindakan kehidupan manusia dalam kehidupan social (Suyono, 1985:4). Lebih jauh lagi dikatakan bahwa tradisi (tradition) biasanya digunakan untuk menggantikan kata yang berkaitan dengan masa lalu seperti kepercayaan, kebudayaan, nilai-nilai, prilaku dan pengetahuan atau keahlian yang mana diturunkan secara turun temurun dengan proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam sebuah sosial masyarakat.[2] Demikian tradisi, maka tradisional yang berkaitan dengan kata sifat, maka sifat tradisi itu sendiri melekta dan juga sering digunakan sebagai persamaan dengan kebudayaan itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan etnologi (Seymour-Smith, 1990:279-180).

Pada sebagian suku bangsa di Indonesia penggunaan alat musik biola adalah merupakan hal yang sering sekali kita lihat dalam masyarakat tersebut, misalnya Melayu, Minangkabau, dan sebagainya, bahkan fungsi alat musik tersebut dapat dikatakan cukup penting dan dapat dikatakan sebagai sebagai ciri musik mereka. Demikian juga halnya dengan beberapa alat musik lainnya seperti akordeon. Alat ini sangat identik dengan Melayu dan alat musik tersebut dianggap sebaai musik ‘tradisi’ Melayu dan ini disebut ‘tradisional’. Demikian juga musik letor, sasando dari Nusatenggara Timur, kacapi suling dari Sunda, gondang dari Batak, talempong pacik dari dari Minangkabau, gamelan dari Jawa dikategorikan sebagai musik tradisional. Musik yang kita katakan tradisional ini berkaitan dengan masyarakat pendukung, gondang – Batak, kacapi – Sunda, talempong – Minangkabau, dan sebagainya yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai etnik atau suku bangsa. Musik tersebut merupakan ‘milik’ dari masyarakat pendukungnya secara budaya. Meskipun konsep etnik atau suku bangsa kembali dipertanyakan karena kesulitan-kesulitan untuk mengidentifikasi etnik berdasarkan cirri-ciri tertentu atau persamaan budaya, tapi setidaknya masihlah dapat kita pakai untuk sementara untuk menjelaskan bahwa contoh-contoh musik tradisi tersebut masih terkait dengan etnisitas atau kesukubangsaan sebagai pemilik kebudayaan [musik] tersebut.[3]

Musik Tradisi [kesenian] dapat diartikan sebagai pengetahuan atau keahlian yang mana diturunkan secara turun temurun dengan proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam sebuah sosial masyarakat. Sosial masyarakat sebagai sebuah organisasi, maka musik tradisional sering dikaitkan dengan fungsi-fungsinya dalam social masyarakat pendukungnya tersebut. Dari konsep ini sebenarnya tersirat beberapa hal yaitu bahwa ‘tradisi’ itu merupakan hal yang penting, dihormati, dan bahkan perlu diwariskan untuk generasi berikutnya. Kemudian, karena musik berfungsi dalam masyarakat dalam upacara-upcara ritual (terikat secara fungsional), maka musik tradisional juga dikelompokkan sebagai musik yang masih berhubungan dengan masalah ritual. Ritual yang dilakukan juga mungkin sudah berbeda dengan system kepercayaan yang dianut oleh sebagaian besar masyarakat dewasa ini, maka musik tradisional juga dikelompokkan sebagai musik yang tradisional dalam arti kuno sebagai lawan dari modern. Padahal kalau kita cermati sebenarnya musik etnik kita juga mempunyai fungsi yang sangat beragam sekali. Merriam mengatakan setidaknya ada 10 fungsi musik itu bagi masyarakat pendukungnya (Merriam, 1964:219-226)

Berkaitan dengan proses tersebut, kalau kita telusuri jauh ke belakang apakah musik Barat yang kita anggap modern tersebut juga bukankah merupakan musik tradisi ? Karena sejarah musik Barat yang mulai berkembang sekitar abad ke-7 (Mack, 2001:2) dengan nyanyian Gregorian itu juga berkaitan dengan fungsional yaitu bagaimana musik berfungsi dalam social yang dalam hal ini adalah dalam gereja. Musik Barat juga mengalami proses pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam beberapa masa yang ditetapkan dalam sejarah musik Barat. Sejauh musik itu masih dapat ditelusuri sejarahnya, maka musik itu dikatakan sebagai musik tradisi sampai kepada musik kontemporer sekarang ini.

Pengertian tradisi di Indonesia bertolak dari sesuatu yang bersifat baku, diakui oleh suatu etnik tertentu (Mack, 2001:11). Artinya tradisi selalu dikaitkan dengan standard mutlak [oleh sebab itu selalu saja muncul isitlah ‘merusak’, misalnya musik campur sari, pada awal perkembangannya disebut merusak tradisi oleh beberapa seniman]. Namun di Barat yang dianggap sebagai tradisi adalah keseluruhan sejarahnya dari awal yang diketahui sampai “kemarin”. Memang di Barat sendiri seperti apa yang dikemukakan oleh Dieter Mack :

“….. kalau kita berbicara tentang “tradisi Barat” akan membingungkan: ia akan bertanya kapan dan tradisi yang mana yang dimaksud. Ternyata di Indonesia sendiri ‘tradisi musik Barat” selalu dihubungkan dengan musik tonal sederhana yang muncul sekitar abad ke-17. Walaupun memang system tonal sendiri memang amat berperan, jangan lupa bahwa persepsi musik tidak berdasarkan tonalitas saja, melainkan semua aspekk parametris sebagai durasi, bentk dan dinamika juga berperan. Di Indonesia persepsi dan pemahaman akan tradisi Barat terteentu itun(musik tonal) belum mencapai hasil yang memadai terkecuali pencapaian beberapa orang saja. (Mack, 2001:12)

Saya tidak melihat tradisi musik Barat dari berbagai macam musik yang ada, tetapi penekanan saya adalah lebih terfokus pada proses pewarisan dari bermacam-macam musik yang ada di sana. Karena kesejarahan musik yang ada baik yang rock’n roll, hip hop dan sebagainya tentunya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya meskipun batasan etnik sebagai pendukung kebudayaan tersebut sudah sangat sulit ditentukan sebagai empunya kebudayaan (musik) tersebut. Tetapi dia tetap diwariskan ke generasi berikutnya dengan segala perubahan-perubahannya. Ini yang saya artikan sebagai tradisi.

Mewariskan merupakan kunci dari tradisi tersebut yang artinya sebuah proses penyampaian pengetahuan atau keahlian kepada generasi dalam waktu linear. Perjalanan dari waktu ke waktu ada pemilihan sesuai dengan kebutuhan dan pasti mengalami perubahan. Jadi sebenarnya tradisi itu sendiri adalah perubahan. Yang pasti semua masyarakat selalu dalam perubahan terus menerus. Sehubungan dengan ini maka musik sebagai benda yang diwariskan maka selalu akan mengalami perubahan. Apa yang kita anggap tradisional sekarang mungkin akan menjadi modern dan atau dulu barangkali modern juga, dan apa yang kita anggap modern sekarang ini juga akan menjadi tradisional. Jadi istilah tradisional ini sebenarnya kurang tepat. Baik di Barat sekalipun karena tradisi selalu berubah.

MODERN

Meskipun telah disinggung sedikit tentang pengertian ‘modern’ namun perlu juga kita bahas lebih mendalam penggunaan kata modern tersebut di dalam musik di Indonesia. Kata modern (atau moderen) sering sekali diidentikkan dengan sikap kapitalistis dan dipakai untuk merasionalkan perkembangan system kapitalisme dalam semua aspek kehidupan masyarakat (Witton, 1986:44). Makan di Kentucky Fried Chicken, minum kopi di Star Buck dan sebagainya adalah dianggap sebagai gaya hidup yang modern. Orang akan lebih modern jika menonton pertunjukan musik klasik di gedung-gedung kesenian meskipun [kadang-kadang] tidak dapat menikmati pertunjukan musik itu sendiri, daripada menonton tarian cokek. Orang akan merasa lebih modern tinggal di rumah yang terbuat dari batu dan semen daripada tinggal di rumah yang terbuat dari alami, semisal kayu dan sebagainya dan seterusnya. Tetapi intinya adalah orang yang modern itu akan selalu didorong untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi ‘uang’.

Menurut Inkeles, orang modern setidaknya mempunya 9 ciri, yaitu kesedian menerima pengalaman baru dan keterbukaan; berpandangan luas; tidak mementingkan masa lampau; suka bekerja dengan perencanaan dan organisasi; yakin akan kemampuan manusia untuk menguasi alam; kehidupan bukan ditetapkan nasib; menghargai martabat orang lain; percaya kepada Iptek; dan prinsip ganjaran disesuaikan dengan tindakan atau prestasi (Inkeles, 1966:151-167).

Demikian dari pemahaman dan cirri modern yang disebutkan oleh Inkeles tersebut di atas mempengaruhi pola piker tentang modern dan diwujudnyatakan dalam tindakan (action) sehingga masyarakat dengan pilihan-pilihan sendiri ingin menjadi modern. Pilihan untuk hidup modern ini juga tidak hanya dari gaya hidup tapi segala aspek karena hal itu menyangkut kepada status social yang kadang melupakan fungsionalnya. Orang akan dianggap lebih modern jika dalam sebuah rumah terdapat alat musik piano meskipun hanya pajangan saja. Orang akan dianggap mencintai tradisi jika dirumahnya terdapat yang dikategorikan sebagai tradisional.

Sebenarnya ada dua kelompok dalam masyarakat, pertama mereka yang mau mempertahankan seluruh kehidupan masa lalu, dengan anggapan bahwa semua yang ‘tradisional’ itu adalah baik. Kedua, mereka yang merupakan kelompok yang menggandrungi sikap modern karena mereka anggap dapat membuka jalan yang cemerlang bagi mereka dan dalam pergaulan global.

MODERN DAN TRADISIONAL

Modern adanya sentuhan teknologi yang dianggap lebih beradab dan lebih maju, sedangkan tradisional lebih terikat akan fungsional dalam social masyarakat yang mendukung sebuah kebudayaan tersebut. Tetapi apabila kita membandingkan dua buah instrumen yang hampir bersamaan bentuknya yang kita kategorikan keduanya dalam dua kelompok yang berlawanan, yaitu modern dan tradisional, misalnya taganing (drum-chime) Batak Toba dengan Bongo. Kalau kita berbicara masalah bahan secara organologi barangkali ada beberapa perbedaan bahan dari yang alami dengan hasil mesin pengolah bahan. Tetapi segi teknologi barangkali belum begitu jauh berbeda karena kedua-duanya dapat di tune karena taganing juga adalah melodis. Barangkali accordeon dan biola yang biasa dimainkan dalam kesenian Ronggeng Melayu Sumatera Timur dibandingkan dengan pemain accordeon Prancis, dimana Ronggeng Melayu biasanya disebut tradisional dan berkaitan di Prancis dikategorikan sebagai alat musik modern, bagaimana kita memandang hal ini ? Mungkin alat-alat musik elektronik seperti gitar listrik dengan kemungkinan berbagai macam efek dibandingkan dengan kacapi Sunda yang juga sudah mengenal efek dan elektrik, tapi masih dalam tataran tradisional barangkali merupakan contoh yang lain bagaimana kita mengkategorikan alat musik tradisional dengan modern. Padahal semuanya menjalani satu proses masing-masing dalam kata kunci perubahan tadi. Triangle dan Hesek adalah sama-sama pecussion yang bahan dasarnya juga barangkali hampir sama.

HEGEMONI BARAT

Dahulu waktu bangsa Indonesia dibawah genggaman kolonialisme ada yang mengakui dengan sepenuh hati bahwa bangsa Belanda sebagai atasannya. Orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih seabad yang lalu pada waktu perekonomiannya berdasarkan perbudakan, menyediakan diri terhadap atasannya yang berkulit putih, sebab mereka sudah dididik tidak percaya pada kemampuan dirinya sejak kecil. Sama seperti sekarang ini wanita pada masyarakat Indonesia umumnya dididik dan disosialisasikan sejak kecil untuk merendahkan dirinya terus menerus dalam seluruh bidang kehidupan terhadap kaum pria.

Sebagai bekas bangsa terjajah, Indonesia tidak hanya terjajah dalam bentuk fisik tetapi juga meliputi berbagai hal termasuk pandangan hidup sebagai bangsa terjajah. Beratus-ratus tahun lamanya bangsa ini dijajah, meskipun berhasil memerdekaan diri, tetapi pengaruhnya masih sangat besar yang telah membentuk Hal ini berpengaruh kepada sikap sebagai bangsa terjajah dalam berbagai hal termasuk dalam bidang musik. Pelajaran seni musik pun yang selama ini diajarkan si sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat SD sampai SMU adalah musik Barat. Memang dewasa ini sudah mulai muncul kesadaran akan pentingnya juga kelokalan dengan pelajaran-pelajaran muatan local yang di dalamnya juga adalah musik etnik.

Kebudayaan bangsa yang menjajah (Barat) selalu dianggap lebih unnggul dan lebih maju dari bangsa yang terjajah [termasuk Jepang yang pernah menajajah sesama bangsa Timur (orient)]. Pada umumnya dunia Timur memang nyaris merupakan invensi Eropa (Barat), dan sejak jaman kuno ia telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, kenang-kenangan yang manis, pemandangan-pemandangang yang indah dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Kini ia dalam proses kelenyapan, dalam sesuatu arti ia memang pernah ada. Timur merupakan tempat koloni-koloni eropa yang terbesar, terkaya dan tertua, sumber-sumber peradaban dan bahasa-bahasanya, saingan budayanya (Barat) dan salah satu imaji yang paling mendalam dan paling sering muncul adalah muncul tentang ‘dunia yang lain’ (Said, 1996:1-2), yaitu dunia Timur. Munculnya dunia Timur adalah sangat penting dan berarti membantu mendefenisikan dunia Barat dan Timur. Celakanya lagi kita juga menerima defenisi tersebut.

Tradisional sebagai sebuah sifat dengan segala ke’kuno’annya selalu diposisikan pada keadaan yang tertinggal atau ketinggalan jaman karena cenderung untuk dipertahankan dengan atau tanpa perubahan dari apa yang disebut dengan ‘asli’ meskipun konsep asli itu sendiri sangatlah kacau dan rancu. Tradisional diposisikan sebagai oposit modern, dan ini berpengaruh kepada pandangan dan sikap. Para seniman ‘tradisi’ tadi pun ramai-ramai menyesuaikan diri karena adanya setting modern atau maju yang telah terpola. Mereka menyesuaikan diri dengan model-model ‘modern’ ini. Di satu sisi ini bias saja dianggap sebagai pembaharuan, tapi di satu sisi juga ini dapat merupakan anggapan ketidak mampuan musik etnik itu berbicara sejajar dengan musik apa yang dianggap modern tersebut. Seolah-olah dengan menyesuaikan diri dengan model-model baru inilah musik etnik dapat bergabung dengan dunia modern dan berpartisipasi secara efektif dalam proses globalisasi kehidupan dan produktivitas (Thanh, 1997:141).

Manifestasi paling jelas dari kencenderungan ini adalah pemujaan terhadap musik rock, pop dan sebagainya. Demikian juga mengupayakan memoderninasi dengan memodifikasi instrumen-instrumen musik etnik dengan pendekatan teori musik Barat, menciptakan instrumen diatonis, bersenar lebih banyak dan sebagainya. Di Jakarta saat ini gong dalam ensambel Gondang yang selama ini dikenal hanya 4 buah, dan tidak ada keterkaitan secara nada dengan instrumen lainnya karena lebih bersifat ritmis, tetapi sekarang ini sudah bertambah jumlahnya menjadi 12 buah dengan system tuning yang disesuaikan dengan instrumen musik Batak lainnya dalam ensambel tersebut dengan system tonal.

Musik etnik Indonesia yang atonal diusahakan menjadi musik tonal, musik etnik yang tidak mengenal nada dasar (tonika) diusahakan bahkan dipaksa mempunyai nada dasar. Dalam rangka kolaborasi musik etnik yang kebanyakan pentatonic dipaksa menjadi diatonis yang sering disebut sebagai upaya pem-Barat-an. Kalau demikian halnya berarti perjalanan musik kita masih pada tahap Jaman Barok (Baroque) yaitu sekitar tahun 1600 – 1750, dimana pada masa ini salah satunya adalah perkembangan musik modal ke tonal. Berarti kita masih sangat jauh ketinggalan dalam perjalanan sejarah. Padahal dalam rangka superioritas musik kita harus sadar sepenuhnya bahwa musik etnik kita adalah sejajar dengan berbagai macam musik di dunia berdasarkan konteksnya.

Saya tidak mengatakan bahwa ini juga merupakan kolonialisme karena mereka sadar memilih dan masalah kesempatan. Setiap jenis musik akan bisa mempunyai kekuatan dan berpengaruh luas sampai mencapai tataran internasional atau bahkan mendunia sekalipun (Hardjana, 2003:155). Musik etnik Indonesia juga mempunyai kesempatan untuk melakukan ekspansi keluar dari habitatnya, tergantung kepada apa dan bagaimana usaha yang dilakukan berkaitan dengan politik budaya, ekonomi dan informasi.

PENUTUP


Maraknya penggabungan alat musik keyboard dengan beberapa ensambel musik etnik di Indonesia dewasa ini seperti campur sari, gendang kibot, dan sebagainya dianggap sebagai upaya me’maju’kan musik etnik. Kita mengerti bahwa kebudayaan adalah disamping mencipta juga proses memilih, sehingga nilainya selalu berubah dan bertambah. Perubahan merupakan kata kunci yang tidak dapat terelakkan sesuai dengan perkembangan suatu kebudayaan yang didalamnya juga adalah kesenian [musik]. Tetapi diperlukan sebuah pemahaman bahwa musik kita adalah juga musik yang sejajar dengan berbagai macam musik di belahan dunia.

Tulisan singkat ini hanya ingin menjelaskan bahwa musik etnik yang selama ini kita pahami sebagai musik tradisi adalah musik yang unik yang tiada duanya yang tidak dapat diperbanding-bandingkan dengan musik lain sesuai dengan konteksnya, apalagi dalam menempatkannya dalam kategori lebih rendah. Saya juga tidak ingin memberikan nama atau istilah tetapi lebih melihat musik itu sebagai musik. Saya hanya ingin menempatkan musik etnik Indonesia yang selama ini kita kenal dengan musik tradisional dalam konsep kesejajaran, persamaan, pemerataan, dan keadilan karena ia memang sejajar dan sama dalam perbedaan. Barangkali hal ini juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kebijaksanaan pembangunan musik etnik Indonesia dalam pembangunan yang selama ini terabaikan karena pemahaman konsep yang salah.

BIBLIOGRAPHY

Borofsky, Robert (ed)
1994 Assessing Cultural Anthropology, New York : McGraw-Hill, Inc.

Dieter Mack
2001 Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Bandung : Art.Line.

Fontana, Andrea & David R. Dickens
1994 Post Modernism and Social Inquiry, New York : The GuildFord Press.

Hardjana, Suka
2003 Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini, Jakarta : MSPI.

Inkeles, Alex
1966 The Modernization of Man, “Modernization : The Dymanic of Growth (Myron Weiner, ed) Washington : Voice of America Forum Lectures.

Kayam, Umar
1981 , Tradisi, Masyarakat, Jakarta : Sinar Harapan

Kleden, Ignas
1986 Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional”, dalam Prisma
No. 8, Tahun XV, 1986.

Meriam, Alan PP.
1964 The Anthropology of Music, Chichago ; NorthWestern Univ. Press.

Said, Edward W.
1996 Orientalisme, Bandung : Pustaka

Sedyawati, Edy
1981 Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan

Seymour_Smith, Charlotte
1990 Macmillan Dictionary of Anthropology, London : The Macmillan Press Ltd.

Suyono, Haryono
1985 Kamus Antropologi, Jakarta : Akademika Presindo.

Thanh, To Ngoc
1997 “Situasi Seni Pertunjukan Tradisional Masyarakat Vietnam Saat Ini : Tantangan dan Persfektif Baru,” dalam Jurnal MSPI Tahun VIII, 1997.

Witton, Ron
1986 “Tinjauan Kritis terhadap Istilah “Tradisional” dan “Modern” dalam Penelitian Sosial” dalam Prisma No. 8, Tahun XV. 1986.


[1] Lebih jauh dapat dilihat dalam Fontana (1994), Post Modernism and Social Inquiry, New York : The
Guilford Press.
[2] Seymour_Smith, Charlotte., Macmillan Dictionary of Anthropology, The Macmillan Press Ltd :
London, 1990.
[3] Bagi masyarakat di perkotaan yang sangat kompelks ciri-ciri etnik akan menjadi sulit diidentifikasikan karena konsep etnis itu sendiri dalam unsure-unsur budaya. Etnisitas saat ini dapat dikatakan lebih bersifat emosional.

Comments

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal : SAHABAT SEJATIKU