Berkesenian (Karo) di Jakarta
BERKESENIAN (KARO) DI JAKARTA
Yulianus P Limbeng.*)
Tulisan Maja Saputra Bukit dalam Sibayak Post edisi November 2004 yang berjudul "Apresiasikan Seni Musik dan Tari Tradisional Karo sebagai Warisan Budaya" tersirat dibenak saya suatu keprihatinan akan kondisi kesenian Karo. Khususnya mengenai kondisi kesenian Karo (musik) yang berkaitan dengan kesenian tradisional. Jika lebih dipersempit lagi adalah jumlah musisi (sierjabaten). Meskipun penghitungan yang dilakukan belumlah seakurat mungkin, tetapi berdasarkan perhitungan kasar di seluruh wilayah Karo di Sumatera Utara sekarang ini terdapat 78 orang pemusik tradisional dengan catatan semuanya telah berumur 50 atau 60 tahun ke atas.
Lima tahun yang lalu (2001) juga, ketika kami melakukan shooting di Jakarta dengan dua orang seniman Karo dari Medan untuk sebuah produk VCD, mereka juga menyebutkan kondisi kesenian Karo saat itu tidak jauh dari kondisi yang disebutkan oleh Bukit tersebut, bahkan mereka (-- Sorensen Tarigan dan Alm. Stasion Tarigan --) khawatir tidak akan ada lagi generasi baru (muda) yang mau berkecimpung di musik tradisional Karo. Gendang tradisional Karo (gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen) terbatas hanya dipakai pada acara kematian cawir metua atau nurun dan upacara-upacara adat lainnya bagi orang Karo yang masih ‘menghargai’ keseniannya. Semua kegiatan yang berkaitan dengan musik ‘hampir’ sepenuhnya dilahap oleh yang namanya organ tunggal kibot (keyboard). Oleh sebab itu muncul lelucon yang mengatakan para sierjabaten Karo seakan-akan ‘berdoa’ supaya ada orang yang meninggal cawir metua agar dapat job. Mungkin saja tidaklah separah ini, tapi kenyataannya jumlah pemusik tradisional semakin hari semakin berkurang.
Di Jakarta ? Mungkin kondisinya sangat berbeda dan dapat dipahami bahwa di Jakarta populasi Karo juga sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah asalnya. Namun kesenian Karo di Jakarta bukan tidak dibutuhkan. Setidaknya di Jakarta ada 14 pemain kibot, seorang pemain sarune, dan dua orang pemain gendang. Jelas, dominasi kibot.
Dulu sekitar tahun 1990-an ada satu kelompok sierjabaten yang tinggal dan menetap di Jakarta yang lebih dikenal dengan group ‘Pool BK’ karena posko mereka di sebuah pool taksi di daerah Kali Malang. Namun akibat gempuran kibot dan lebih mahal dibanding dengan musik kibot, maka secara perlahan-lahan group ini juga mundur dengan teratur meskipun mendapat subsidi dari seorang Karo yang mempunyai kepedulian terhadap kesenian tersebut. Tahun 1997 di Jakarta tinggal satu dua orang saja seniman tradisional dan tahun 1999 hanya tinggal satu orang saja, yaitu pemain gendang. Pemain gendang ini juga dapat bertahan karena mempunyai usaha cucian mobil (door smer). Semuanya kembali ke Tanah Karo, dan satu sisi pemain kibot semakin banyak mengadu nasib ke Jakarta, karena upah (honour) konon jauh lebih tinggi dibanding di Sumatera. Sebagai perbandingan, tahun 1996 jumlah pemain kibot Karo tidak lebih dari 3 orang, dan sekarang lebih dari 14 orang. Bahkan di Eropah sendiri masyarakat Karo kabarnya sudah menggunakan kibot dalam acara kerja tahunnya.
Berkesenian Karo di Jakarta memang menjanjikan secara finansial, oleh sebab itu tidak mengherankan banyak pemain kibot Karo mengadu nasib ke Jakarta. Akan tetapi tentunya harus juga dibekali dengan kemampuan (skill). Profesi sebagai pemain kibot Karo juga adalah sah-sah saja. Profesi tentunya menyangkut keprofesionalan yang peka akan unsur-unsur entertain, service, network, marketing dan sebagainya, yang berujung kepada kesuksesan secara materi (la pajek gara api).
Seniman sebagai agen perubah (agent of change) di dalam masyarakat, minimal bagi pendukung fanatiknya, seharusnya atau idealnya mempunyai rasa tanggung jawab akan kesenian dimana dia berpijak meskipun perubahan tidak dapat dihindarkan. Tanpa ada perubahan maka kesenian itu juga akan mati, namun sejauh mana seniman telah melakukan perubahan, apakah sudah sampai pada perubahan makna (mean) atau masih seputar cara. Kehadiran gendang kibot pada masyarakat Karo di Jakarta mampu merubah cara dan hampir merubah makna.
Melihat kenyataan tersebut maka timbul beberapa pertanyaan, yaitu : Adakah upaya orang Karo di Jakarta kembali menghidupkan gendang tradisional Karo ? Masih relevankah gendang tradisional Karo dengan era modernisasi sekarang ini ? Zaman sudah berubah, musik yang berkaitan dengan selera juga tentunya perlu berubah, bukankah musik yang statis akan mati dan ditinggalkan karena tidak mampu lagi memenuhi selera masyarakat ? Kenapa mesti gendang tradisional Karo ? Bukankah gendang tradisional Karo itu sepi, sunyi, senyap dan terkesan sangat monoton sekali ? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat diungkapkan. Tetapi inti dari semua itu adalah bahwa perubahan memang tidak dapat dihindarkan. Era globalisasi juga sangat membutuhkan karakteristik dan kekhasan. Demikian juga musik. Jawaban-jawaban akan pertanyaan tersebut di atas juga bukan tidak beralasan, dan tentunya membutuhkan jawaban secara teoritis yang tak mungkin dijelaskan lewat tulisan yang singkat ini, tergantung benar salah karena relativitas pandangan meskipun faktanya subjektif dan obyektif.
Saya bersyukur karena setidaknyalah di Jakarta sekarang ini ada upaya yang dilakukan segelintir orang yang untuk mengembangkan kembali Kesenian tradisional Karo, yaitu Sanggar Partitur. Sanggar ini didirikan pada tanggal 10 Juli 2003. Sanggar yang telah terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta ini juga mendapat dukungan dari Pemda Karo, yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karo. Pada tahun 2004 yang lalu Dinas Budpar telah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan seperangkat alat musik tradisional Karo meskipun peralatan tersebut juga kondisinya kurang memuaskan. Demikian juga Kantor penghubung Propinsi Sumatera Utara dan Dinas Kebudayaan DKI juga turut memberikan dukungan.
Sanggar ini secara rutin mengisi acara kesenian Karo di Anjungan Provinsi Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah. Meskipun latihan masih seret karena keterbatasan pengetahuan. Mereka punya sarune tetapi tidak ada pemain. Di tahun 2004 mereka dapat memperkenalkan kesenian Karo di even-even kesenian lintas etnis di Jakarta, seperti di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Tennis Indoor Senayan, di Gedung BPPT Jakarta dan sebagainya. Berduit ? Gendang kibot solo sekali main di Jakarta lebih kurang satu juta rupiah, gendang tradisional dengan lima orang pemain tentunya lebih kecil. Sekali lagi rasa tanggung jawab dan idealisme.
Memang ada kesenian yang dapat menghidupi dirinya sendiri, ada juga kesenian yang memang harus mendapat subsidi. Kesenian tradisional Karo sekarang ini sangat pantas mendapat subsidi dari pemerintah karo pemerintah merasa kesenian itu perlu. Namun apabila tidak ada dukungan dan subsidi dari pemerintah atau masyarakat, apakah kesenian itu akan mati atau punah ? Ya, sekali lagi tergantung kepada masyarakatnya itu sendiri, apabila ada yang merasa perlu maka dia akan pertahankan kelangsungannya. Bekasi, 21 Januari 2005.
Yulianus P Limbeng.*)
Tulisan Maja Saputra Bukit dalam Sibayak Post edisi November 2004 yang berjudul "Apresiasikan Seni Musik dan Tari Tradisional Karo sebagai Warisan Budaya" tersirat dibenak saya suatu keprihatinan akan kondisi kesenian Karo. Khususnya mengenai kondisi kesenian Karo (musik) yang berkaitan dengan kesenian tradisional. Jika lebih dipersempit lagi adalah jumlah musisi (sierjabaten). Meskipun penghitungan yang dilakukan belumlah seakurat mungkin, tetapi berdasarkan perhitungan kasar di seluruh wilayah Karo di Sumatera Utara sekarang ini terdapat 78 orang pemusik tradisional dengan catatan semuanya telah berumur 50 atau 60 tahun ke atas.
Lima tahun yang lalu (2001) juga, ketika kami melakukan shooting di Jakarta dengan dua orang seniman Karo dari Medan untuk sebuah produk VCD, mereka juga menyebutkan kondisi kesenian Karo saat itu tidak jauh dari kondisi yang disebutkan oleh Bukit tersebut, bahkan mereka (-- Sorensen Tarigan dan Alm. Stasion Tarigan --) khawatir tidak akan ada lagi generasi baru (muda) yang mau berkecimpung di musik tradisional Karo. Gendang tradisional Karo (gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen) terbatas hanya dipakai pada acara kematian cawir metua atau nurun dan upacara-upacara adat lainnya bagi orang Karo yang masih ‘menghargai’ keseniannya. Semua kegiatan yang berkaitan dengan musik ‘hampir’ sepenuhnya dilahap oleh yang namanya organ tunggal kibot (keyboard). Oleh sebab itu muncul lelucon yang mengatakan para sierjabaten Karo seakan-akan ‘berdoa’ supaya ada orang yang meninggal cawir metua agar dapat job. Mungkin saja tidaklah separah ini, tapi kenyataannya jumlah pemusik tradisional semakin hari semakin berkurang.
Di Jakarta ? Mungkin kondisinya sangat berbeda dan dapat dipahami bahwa di Jakarta populasi Karo juga sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah asalnya. Namun kesenian Karo di Jakarta bukan tidak dibutuhkan. Setidaknya di Jakarta ada 14 pemain kibot, seorang pemain sarune, dan dua orang pemain gendang. Jelas, dominasi kibot.
Dulu sekitar tahun 1990-an ada satu kelompok sierjabaten yang tinggal dan menetap di Jakarta yang lebih dikenal dengan group ‘Pool BK’ karena posko mereka di sebuah pool taksi di daerah Kali Malang. Namun akibat gempuran kibot dan lebih mahal dibanding dengan musik kibot, maka secara perlahan-lahan group ini juga mundur dengan teratur meskipun mendapat subsidi dari seorang Karo yang mempunyai kepedulian terhadap kesenian tersebut. Tahun 1997 di Jakarta tinggal satu dua orang saja seniman tradisional dan tahun 1999 hanya tinggal satu orang saja, yaitu pemain gendang. Pemain gendang ini juga dapat bertahan karena mempunyai usaha cucian mobil (door smer). Semuanya kembali ke Tanah Karo, dan satu sisi pemain kibot semakin banyak mengadu nasib ke Jakarta, karena upah (honour) konon jauh lebih tinggi dibanding di Sumatera. Sebagai perbandingan, tahun 1996 jumlah pemain kibot Karo tidak lebih dari 3 orang, dan sekarang lebih dari 14 orang. Bahkan di Eropah sendiri masyarakat Karo kabarnya sudah menggunakan kibot dalam acara kerja tahunnya.
Berkesenian Karo di Jakarta memang menjanjikan secara finansial, oleh sebab itu tidak mengherankan banyak pemain kibot Karo mengadu nasib ke Jakarta. Akan tetapi tentunya harus juga dibekali dengan kemampuan (skill). Profesi sebagai pemain kibot Karo juga adalah sah-sah saja. Profesi tentunya menyangkut keprofesionalan yang peka akan unsur-unsur entertain, service, network, marketing dan sebagainya, yang berujung kepada kesuksesan secara materi (la pajek gara api).
Seniman sebagai agen perubah (agent of change) di dalam masyarakat, minimal bagi pendukung fanatiknya, seharusnya atau idealnya mempunyai rasa tanggung jawab akan kesenian dimana dia berpijak meskipun perubahan tidak dapat dihindarkan. Tanpa ada perubahan maka kesenian itu juga akan mati, namun sejauh mana seniman telah melakukan perubahan, apakah sudah sampai pada perubahan makna (mean) atau masih seputar cara. Kehadiran gendang kibot pada masyarakat Karo di Jakarta mampu merubah cara dan hampir merubah makna.
Melihat kenyataan tersebut maka timbul beberapa pertanyaan, yaitu : Adakah upaya orang Karo di Jakarta kembali menghidupkan gendang tradisional Karo ? Masih relevankah gendang tradisional Karo dengan era modernisasi sekarang ini ? Zaman sudah berubah, musik yang berkaitan dengan selera juga tentunya perlu berubah, bukankah musik yang statis akan mati dan ditinggalkan karena tidak mampu lagi memenuhi selera masyarakat ? Kenapa mesti gendang tradisional Karo ? Bukankah gendang tradisional Karo itu sepi, sunyi, senyap dan terkesan sangat monoton sekali ? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat diungkapkan. Tetapi inti dari semua itu adalah bahwa perubahan memang tidak dapat dihindarkan. Era globalisasi juga sangat membutuhkan karakteristik dan kekhasan. Demikian juga musik. Jawaban-jawaban akan pertanyaan tersebut di atas juga bukan tidak beralasan, dan tentunya membutuhkan jawaban secara teoritis yang tak mungkin dijelaskan lewat tulisan yang singkat ini, tergantung benar salah karena relativitas pandangan meskipun faktanya subjektif dan obyektif.
Saya bersyukur karena setidaknyalah di Jakarta sekarang ini ada upaya yang dilakukan segelintir orang yang untuk mengembangkan kembali Kesenian tradisional Karo, yaitu Sanggar Partitur. Sanggar ini didirikan pada tanggal 10 Juli 2003. Sanggar yang telah terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta ini juga mendapat dukungan dari Pemda Karo, yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karo. Pada tahun 2004 yang lalu Dinas Budpar telah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan seperangkat alat musik tradisional Karo meskipun peralatan tersebut juga kondisinya kurang memuaskan. Demikian juga Kantor penghubung Propinsi Sumatera Utara dan Dinas Kebudayaan DKI juga turut memberikan dukungan.
Sanggar ini secara rutin mengisi acara kesenian Karo di Anjungan Provinsi Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah. Meskipun latihan masih seret karena keterbatasan pengetahuan. Mereka punya sarune tetapi tidak ada pemain. Di tahun 2004 mereka dapat memperkenalkan kesenian Karo di even-even kesenian lintas etnis di Jakarta, seperti di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Tennis Indoor Senayan, di Gedung BPPT Jakarta dan sebagainya. Berduit ? Gendang kibot solo sekali main di Jakarta lebih kurang satu juta rupiah, gendang tradisional dengan lima orang pemain tentunya lebih kecil. Sekali lagi rasa tanggung jawab dan idealisme.
Memang ada kesenian yang dapat menghidupi dirinya sendiri, ada juga kesenian yang memang harus mendapat subsidi. Kesenian tradisional Karo sekarang ini sangat pantas mendapat subsidi dari pemerintah karo pemerintah merasa kesenian itu perlu. Namun apabila tidak ada dukungan dan subsidi dari pemerintah atau masyarakat, apakah kesenian itu akan mati atau punah ? Ya, sekali lagi tergantung kepada masyarakatnya itu sendiri, apabila ada yang merasa perlu maka dia akan pertahankan kelangsungannya. Bekasi, 21 Januari 2005.
Comments