Hari Aksara : Bahasa dan Aksara Karo
Julianus P Limbeng
Tanggal 10 Oktober 2010 yang lalu, diperingati Hari Aksara Nasional yang ke-45, di Kalimantan Timur. Selain berkaitan dengan pengentasan buta aksara, masalah punahnya beberapa aksara dan bahasa yang pernah terdapat di Indonesia pun menjadi sebuah persoalan yang kini tengah dihadapi oleh bangsa yang lebih dari lima ratus suku bangsa ini. Persoalan itu, mungkin dapat menjadi antisipasi bagi bahasa dan aksara Karo yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun mengalami beberapa persoalan, khususnya masalah ke-aksaraan. Bahasa Karo relatif masih hidup dan terpelihara dengan baik karena masih dipergunakan dalam berbagai upacara adat, keagamaan, komunikasi, dan sastra-sastra Karo. Sementara dari sisi aksara, meskipun saya tidak tahu berapa persen jumlah yang pasti, saya yakin angkanya cukup kecil berapa jumlah orang Karo yang masih mengerti menulis dan membaca aksara Karo.
Persoalan aksara dan bahasa memang menjadi sebuah persoalan akibat perkembangan teknologi, globalisasi, hegemoni dan perubahan kebudayaan yang diakibatkannya. Sebuah tulisan mengatakan setiap tahun di dunia ada sekitar 10 bahasa kehilangan penuturnya dan sekitar 600 bahasa besar mengalami proses kepunahan. Sementara di harian Kompas 9 Juli 2010 yang lalu menyatakan ada 15 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah dan 150-an lainnya terancam punah. Jika tidak ada kepedulian dari semua pihak, dikhawatirkan bahasa daerah di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 700 buah tersebut perlahan-lahan hilang.
Aksara suku-suku bangsa Batak sebenarnya pernah mengalami kejayaan, ketika seorang ahli budaya (bahasa) dari Belanda Neubronner van der Tuuk pada tahun 1850-an meminta orang-orang Batak menulis cerita-cerita prosa rakyat (dongeng, mite, fabel, legenda, dan lain-lain) dengan menggunakan aksara mereka sendiri. Pada tahun 1857, Van der Tuuk kembali ke Belanda dengan memboyon lebih kurang 100 pustaka dan 20 kelompok karangan yang masing-masing terdiri dari 300 lembar naskah. Demikian juga, ketika misionaris-misionaris Belanda (NZG) ke daerah Karo yang dimulai pada tahun 1890, seperti Neuman, cerita-cerita tentang Karo banyak ditulis oleh para misionaris tersebut.
Aksara karo banyak digunakan sebagai media transkripsi berbagai hal tentang Karo, termasuk penulisan tabas-tabas (mantra), ndung-ndungen (sejenis pantun), bilang-bilang (puisi), dan beberapa hal yang ditulis dalam lak-lak (kulit kayu), bambu dan sebagainya. Alat-alat musik tradisional seperti surdam, balobat, surdam pingko-pingko dan sebagainya banyak dihiasi aksara Karo dan ornamen Karo lainnya. Budaya tulis menuslis memang kala itu masih terbatas di media yang ada di lingkungan masyarakat seperti kulit kayu, bambu dan sebagainya.
Hingga saat ini persoalan kebahasaan Karo dan aksara Karo memang belum sampai pada tahap yang memprihatinkan, khususnya dari sisi penutur. Tetapi dari sisi ke-aksaraan, aksara Karo meskipun belum punah, tapi ada indikasi menuju ke arah kepunahan. Saya tidak tahu apa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Karo untuk mengantisipasi agar jangan sampai terjadi kehilangan salah satu budaya kita yang sangat berharga tersebut. Muatan lokal di sekolah-sekolah setidaknya dapat lebih ditingkat untuk memahami keragaman dan kekayaan budaya lokal Karo, salah satunya aksara Karo. Penamaan jalan-jalan yang ada di daerah Karo dengan mambuat aksara Karo dibawah tulisan Latin misalnya adalah salah satu upaya pelestarian. Penerbitan buku-buku cara menulis dan membaca aksara Karo pun kiranya perlu mendapat perhatian dari orang Karo sendiri.
Kira-kira lima tahun yang lalu saya menemukan sebuah situs yang memuat tentang fontasi aksara Karo untuk komputer. Bahkan di situs tersebut bukan hanya aksara Karo, tetapi banyak aksara Indonesia yang telah dibuatnya dalam format fontasi komputer, sehingga menuliskan aksara karo tidak lagi menggunakan tangan, tetapi menjadi bagian fontasi komputer yang dapat diunduh (download). Aksara Karo tersebut dapat diunduh untuk windows dan macintosh. Pembuat program tersebut adalah Dr. Uli Kozok. Ia pernah menjadi pengajar di USU dan IKIP Medan. Ketua Departemen Bahasa Indonesia Universitas Hawaii di Manoa, Amerika Serikat ini memang memiliki minat terhadap sastra dan keaksaraan. Setidaknya ia memiliki lebih kurang delapan publikasi tentang Karo, baik yang ditulis di luar negeri, maupun yang pernah ia tulis di Buletin Tenah. Bahasa Karo menjadi ketertarikannya disamping bahasa daerah lainnya di Indonesia ketika ia sebagai mahasiswa tamu di USU pada tahun 1983 -1985. Usaha yang dilakukan Uli Kozok ini setidaknya menjadi cambuk bagi kita sendiri orang Karo.
Ia telah melakukan pengkajian terhadap beberapa karya sastra Karo kuno seperti bilang-bilang. Ia terjemahkan puisi tradisional Karo itu dalam bahasa Jerman dan dianalisis dalam kaitan fungsi aksara pada masyarakat Karo. “Bilangbilang itu ditulis bukan untuk dibaca karena sangat kecil hurufnya. Tetapi, hampir semua masyarakat Karo yang mengerti tentang bilangbilang pasti tahu apa yang tertulis di dalamnya,” ujar Uli. Disertasi tentang bilangbilang mengantar Uli meraih gelar Master Artium di Universitas Hamburg tahun 1989. Demikian juga disertasi doktornya juga dengan tema sama, yaitu puisi percintaan pada masyarakat Batak.
PadaTahun 1998 Uli bertemu Michael Everson, seorang ahli linguistik sekaligus desainer jenis huruf (font) untuk komputer dan media digital. Michael meminta Uli membuat software agar aksara Batak bisa ditulis dalam sebuah komputer. Ia lalu meneliti berbagai naskah dan pustaka Batak. Dari empat jenis aksara Batak, yakni Mandailing, Toba, Pakpak, dan Karo, ia lalu membuat varian yang paling umum dari keempatnya. Dengan software itu, orang yang tak mengerti aksara Batak bisa menulis menggunakan huruf Batak di komputer, termasuk Karo. Jika Uli Kozok telah melakukan sesuatu yang berharga buat Karo, bagaimana dengan kita ?
Senayan, Oktober 2010.
Tanggal 10 Oktober 2010 yang lalu, diperingati Hari Aksara Nasional yang ke-45, di Kalimantan Timur. Selain berkaitan dengan pengentasan buta aksara, masalah punahnya beberapa aksara dan bahasa yang pernah terdapat di Indonesia pun menjadi sebuah persoalan yang kini tengah dihadapi oleh bangsa yang lebih dari lima ratus suku bangsa ini. Persoalan itu, mungkin dapat menjadi antisipasi bagi bahasa dan aksara Karo yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun mengalami beberapa persoalan, khususnya masalah ke-aksaraan. Bahasa Karo relatif masih hidup dan terpelihara dengan baik karena masih dipergunakan dalam berbagai upacara adat, keagamaan, komunikasi, dan sastra-sastra Karo. Sementara dari sisi aksara, meskipun saya tidak tahu berapa persen jumlah yang pasti, saya yakin angkanya cukup kecil berapa jumlah orang Karo yang masih mengerti menulis dan membaca aksara Karo.
Persoalan aksara dan bahasa memang menjadi sebuah persoalan akibat perkembangan teknologi, globalisasi, hegemoni dan perubahan kebudayaan yang diakibatkannya. Sebuah tulisan mengatakan setiap tahun di dunia ada sekitar 10 bahasa kehilangan penuturnya dan sekitar 600 bahasa besar mengalami proses kepunahan. Sementara di harian Kompas 9 Juli 2010 yang lalu menyatakan ada 15 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah dan 150-an lainnya terancam punah. Jika tidak ada kepedulian dari semua pihak, dikhawatirkan bahasa daerah di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 700 buah tersebut perlahan-lahan hilang.
Aksara suku-suku bangsa Batak sebenarnya pernah mengalami kejayaan, ketika seorang ahli budaya (bahasa) dari Belanda Neubronner van der Tuuk pada tahun 1850-an meminta orang-orang Batak menulis cerita-cerita prosa rakyat (dongeng, mite, fabel, legenda, dan lain-lain) dengan menggunakan aksara mereka sendiri. Pada tahun 1857, Van der Tuuk kembali ke Belanda dengan memboyon lebih kurang 100 pustaka dan 20 kelompok karangan yang masing-masing terdiri dari 300 lembar naskah. Demikian juga, ketika misionaris-misionaris Belanda (NZG) ke daerah Karo yang dimulai pada tahun 1890, seperti Neuman, cerita-cerita tentang Karo banyak ditulis oleh para misionaris tersebut.
Aksara karo banyak digunakan sebagai media transkripsi berbagai hal tentang Karo, termasuk penulisan tabas-tabas (mantra), ndung-ndungen (sejenis pantun), bilang-bilang (puisi), dan beberapa hal yang ditulis dalam lak-lak (kulit kayu), bambu dan sebagainya. Alat-alat musik tradisional seperti surdam, balobat, surdam pingko-pingko dan sebagainya banyak dihiasi aksara Karo dan ornamen Karo lainnya. Budaya tulis menuslis memang kala itu masih terbatas di media yang ada di lingkungan masyarakat seperti kulit kayu, bambu dan sebagainya.
Hingga saat ini persoalan kebahasaan Karo dan aksara Karo memang belum sampai pada tahap yang memprihatinkan, khususnya dari sisi penutur. Tetapi dari sisi ke-aksaraan, aksara Karo meskipun belum punah, tapi ada indikasi menuju ke arah kepunahan. Saya tidak tahu apa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Karo untuk mengantisipasi agar jangan sampai terjadi kehilangan salah satu budaya kita yang sangat berharga tersebut. Muatan lokal di sekolah-sekolah setidaknya dapat lebih ditingkat untuk memahami keragaman dan kekayaan budaya lokal Karo, salah satunya aksara Karo. Penamaan jalan-jalan yang ada di daerah Karo dengan mambuat aksara Karo dibawah tulisan Latin misalnya adalah salah satu upaya pelestarian. Penerbitan buku-buku cara menulis dan membaca aksara Karo pun kiranya perlu mendapat perhatian dari orang Karo sendiri.
Kira-kira lima tahun yang lalu saya menemukan sebuah situs yang memuat tentang fontasi aksara Karo untuk komputer. Bahkan di situs tersebut bukan hanya aksara Karo, tetapi banyak aksara Indonesia yang telah dibuatnya dalam format fontasi komputer, sehingga menuliskan aksara karo tidak lagi menggunakan tangan, tetapi menjadi bagian fontasi komputer yang dapat diunduh (download). Aksara Karo tersebut dapat diunduh untuk windows dan macintosh. Pembuat program tersebut adalah Dr. Uli Kozok. Ia pernah menjadi pengajar di USU dan IKIP Medan. Ketua Departemen Bahasa Indonesia Universitas Hawaii di Manoa, Amerika Serikat ini memang memiliki minat terhadap sastra dan keaksaraan. Setidaknya ia memiliki lebih kurang delapan publikasi tentang Karo, baik yang ditulis di luar negeri, maupun yang pernah ia tulis di Buletin Tenah. Bahasa Karo menjadi ketertarikannya disamping bahasa daerah lainnya di Indonesia ketika ia sebagai mahasiswa tamu di USU pada tahun 1983 -1985. Usaha yang dilakukan Uli Kozok ini setidaknya menjadi cambuk bagi kita sendiri orang Karo.
Ia telah melakukan pengkajian terhadap beberapa karya sastra Karo kuno seperti bilang-bilang. Ia terjemahkan puisi tradisional Karo itu dalam bahasa Jerman dan dianalisis dalam kaitan fungsi aksara pada masyarakat Karo. “Bilangbilang itu ditulis bukan untuk dibaca karena sangat kecil hurufnya. Tetapi, hampir semua masyarakat Karo yang mengerti tentang bilangbilang pasti tahu apa yang tertulis di dalamnya,” ujar Uli. Disertasi tentang bilangbilang mengantar Uli meraih gelar Master Artium di Universitas Hamburg tahun 1989. Demikian juga disertasi doktornya juga dengan tema sama, yaitu puisi percintaan pada masyarakat Batak.
PadaTahun 1998 Uli bertemu Michael Everson, seorang ahli linguistik sekaligus desainer jenis huruf (font) untuk komputer dan media digital. Michael meminta Uli membuat software agar aksara Batak bisa ditulis dalam sebuah komputer. Ia lalu meneliti berbagai naskah dan pustaka Batak. Dari empat jenis aksara Batak, yakni Mandailing, Toba, Pakpak, dan Karo, ia lalu membuat varian yang paling umum dari keempatnya. Dengan software itu, orang yang tak mengerti aksara Batak bisa menulis menggunakan huruf Batak di komputer, termasuk Karo. Jika Uli Kozok telah melakukan sesuatu yang berharga buat Karo, bagaimana dengan kita ?
Senayan, Oktober 2010.
Comments