SENI(MAN) KARO, OH…
Julianus P Limbeng
Seni(man) Karo dalam tulisan ini mempunyai beberapa pengertian dan sekaligus menjadi bahan ulasan. Pertama, kata man dalam kurung dapat diartikan ‘bagi’ atau ‘buat’., yang berarti Seni bagi Karo; Kedua, man berarti makan, dalam hal ini terkait dengan masalah ekonomi. Seni (cari) makan, seniman Karo; Ketiga, masalah profesi; Keempat, masalah kesenimanan atas nama atau ‘milik’ salah satu suku bangsa, yaitu Karo. Oh…, merupakan gambaran ekspresi yang bermacam-macam, tergantung bagaimana kita mengucapkannya. Silakan ekspresikan masing-masing. Setidaknya saya juga punya ekspresi tersendiri akan dua huruf tersebut.
Sampai saat ini saya masih menyimpan sebuah pesan pendek (SMS) seorang seniman Karo di telepon bergerak saya. Berkali-kali saya membaca pesan tersebut dan merenung. Kadangkala saya ingin melupakannya, tetapi tanpa disadari pikiran-pikiran itu selalu datang tanpa sengaja. Karena bagi saya ada momen, yaitu kesempatan yang menurut hemat saya sangat bagus dimanfaatkan bagi kesenian Karo. Tapi gagal! Pikiran itu memuncak hingga tadi malam (14/03/07) tatakala saya menonton tayangan O Tano Batak di sebuah televisi swasta. Dalam acara itu disuguhkan satu lagu Karo, “Mbiring Manggis” ciptaan Alm. Tumtam (Tumbuk Tarigan Tambun, yang juga seorang pelukis). Seyogyanya saya ada di acara tersebut bersama dengan Tio Fanta br Pinem, juga untuk episode berikutnya (episode 6) bersama Santa Hoky br Ginting membawakan lagu Lasam-Lasam.
Pesan singkat seniman tersebut menyatakan bahwa acara tersebut telah mendapat kritikan, mengapa lagu Karo dibawakan demikian. Namun ketika pihak manajemen acara tersebut meminta orang (seniman) Karo terlibat di dalamnya ‘pekena si salah ndai’ kelihatannya orang yang yang saya anggap berkompeten (--saya tidak menyebutnya seniman--) akan hal itu ewuh-pakewuh dan cuek. Alasan tidak lain dan tidak lebih karena ‘serpi’ atau ‘siempat suki’. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Korem Sihombing, orang Harianboho ketika dulu kami sering bergabung dalam berbagai acara. “Kita harus tau saat kapan cari duit, dan kapan misinya budaya kita. Kalau untuk misi budaya kita tidak pernah mempermasalahkan honor”, katanya. Cukup salut dan mendalam maknanya.
"Sebab arus nge siangka apai cari duit, apai petandaken kesenianta,
Ketika orang non-Karo mengekspresikan kesenian Karo dalam berbagai bentuk, katakanlah lagu atau tarian, selalu saja banyak kritikan. “Uga kin bagah perlandek Karo, uga kin bagah pengendeken lagu Karo, uga kin bagah ose Karo” dan seterusnya. Hal ini kerap kali datang komentar bukan hanya dari masyarakat saja, tetapi juga dari senimannya sendiri. Hal ini sangat dan sangat wajar, karena ada rasa memiliki, emosional ke-Karoan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana kita merasa memilikinya. Boneka pajangan yang mengenakan ose penganten Karo di anjungan propinsi Sumatera Utara Taman Mini saja tidak ada yang peduli. Lihatlah bulang-bulang dan tudung yang dikenakan boneka tersebut. Demikian juga dengan uis-uis yang dikenakannya. Padahal sudah berulang kali petinggi-petinggi dan pejabat-pejabat Pemda Karo datang ke tempat itu. Boneka itu sendiri tidak ditempatkan di rumah adat Karo, namun di rumah adat Toba (rumah atau jabu bolon). (Sebagai catatan: dua tahun yang lalu, saya dan Junianto Meliala pernah memperbaikinya).
Perubahan dalam kesenian Karo memang tidak terjadi secara progressif, malah terjadinya kemunduran di berbagai sisi. Misalnya dari sisi perkembangan teknologi, sangat sukar ditemukan pembuat sarune, kulcapi, surdam, meskipun dari sisi akademisi ada upaya membuat studi organologi dan akustika. Namun tidak lebih hanya sebagai tugas akhir membuat skripsi. Tidak ada pengembangan teknis masing-masing instrumen terkait dengan pembuatan dan memainkannya. Padahal jika kita lihat sejarah alat musik Horn di Barat, awalnya memang dari tanduk. Tapi lihatlah perkembangan selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana alat musik tersebut beradaptasi menjadi alat musik yang namanya tetap Horn (tanduk kerbau). Kita hanya bisa memakai gendang kibot dengan segala keterbatasan. Meminjam istilah Clifford Geertz, dapat dikatakan terjadi involusi dalam kesenian (musik) kita. Kita sulit keluar dari segala macam problema yang tidak hanya dari senimannya saja, tetapi juga dari masyrakat atau pembuat policy yang terkait dengan kesenian Karo itu sendiri.
Seniman kita memang melakukan proses kreatif, tetapi kita dapat lihat sejauh mana proses kreatif itu sudah dilakukan oleh mereka sampai saat ini. Jika hasilnya seperti kita lihat seperti sekarang ini, hal itu wajar-wajar saja, karena kreatifitas tidak muncul begitu saja. Sangat diperlukan pengalaman-pengalaman estetika. Dimana pengalaman-pengalaman estetika ini didapat, tentunya dari bermacam-macam sumber. Bermacam-macam sumber ini tentunya ada yang terkait dengan dana, dan ada juga yang tidak membutuhkan dana. Bagaimana saya dapat menggambarkan seperti apa oratorio, suita-nya Johann Sebastian Bach, Allemande, musik kontemporernya Michael Tenzer, dan sebagainya jika saya tidak pernah mengenalnya sama sekali. Justru itu ada konsekwensi yang mesti dilalui jika ingin kreatifitas jalan. Dan ini mendukung ke berbagai hal, brangkali ekonomi seniman itu sendiri, jika itu selalu yang menjadi alasan. Mau enggak seniman latihan?
Demikian juga dari sisi pembuat kebijakan, meskipun tidak perlu membuat aturan-aturan. Tetapi setidaknya perlu dibicarakan, dianalisis, dan pengembangan seperti apa yang dibutuhkan, ibaratnya seperti penyakit, sehingga tidak salah obat. Sudahkah kita peduli akan kesenian Karo sebagai warisan budaya leluhur kita yang unik tersebut? Saya tidak tahu seperti apa kebijakan yang dibuat oleh pemda tentang kesenian. Di legislative kita sekarang ada dua orang seniman Karo. Tapi bagi saya itu tidak menjamin, karena bukan profesi itu yang penting, tapi visi dan aksi nyatanya bagi kesenian itu sendiri secara konkrit.
Lihatlah jika ada resepsi perkawinan orang Karo di hotel berbintang di Jakarta. Simbol-simbol Karo itu muncul disana, mulai dari pintu masuk sampai ke paling depan, yaitu pelaminan pengantin. Juga tidak ketinggalan musik pengantar prosesi dan penari-penarinya. Coba kita sik-siki siapa yang membuat pelaminan tersebut, siapa yang menari Terang Bulan dan Mbaba Kampil tersebut? Ya, Pak Buyung, orang Minang, orang Jawa, Melayu, Betawi dan sebagainya. "La kuakap bagi perlandek Karo perlandekna, bagi buta-buta kalak Jawa kuakap", kata seorang pernanden Karo. Lantas, mau apa kita? Cukupkah kita jadi penonton yang mandangi saja? Karawaci, 15/03/07.
Seni(man) Karo dalam tulisan ini mempunyai beberapa pengertian dan sekaligus menjadi bahan ulasan. Pertama, kata man dalam kurung dapat diartikan ‘bagi’ atau ‘buat’., yang berarti Seni bagi Karo; Kedua, man berarti makan, dalam hal ini terkait dengan masalah ekonomi. Seni (cari) makan, seniman Karo; Ketiga, masalah profesi; Keempat, masalah kesenimanan atas nama atau ‘milik’ salah satu suku bangsa, yaitu Karo. Oh…, merupakan gambaran ekspresi yang bermacam-macam, tergantung bagaimana kita mengucapkannya. Silakan ekspresikan masing-masing. Setidaknya saya juga punya ekspresi tersendiri akan dua huruf tersebut.
Sampai saat ini saya masih menyimpan sebuah pesan pendek (SMS) seorang seniman Karo di telepon bergerak saya. Berkali-kali saya membaca pesan tersebut dan merenung. Kadangkala saya ingin melupakannya, tetapi tanpa disadari pikiran-pikiran itu selalu datang tanpa sengaja. Karena bagi saya ada momen, yaitu kesempatan yang menurut hemat saya sangat bagus dimanfaatkan bagi kesenian Karo. Tapi gagal! Pikiran itu memuncak hingga tadi malam (14/03/07) tatakala saya menonton tayangan O Tano Batak di sebuah televisi swasta. Dalam acara itu disuguhkan satu lagu Karo, “Mbiring Manggis” ciptaan Alm. Tumtam (Tumbuk Tarigan Tambun, yang juga seorang pelukis). Seyogyanya saya ada di acara tersebut bersama dengan Tio Fanta br Pinem, juga untuk episode berikutnya (episode 6) bersama Santa Hoky br Ginting membawakan lagu Lasam-Lasam.
Pesan singkat seniman tersebut menyatakan bahwa acara tersebut telah mendapat kritikan, mengapa lagu Karo dibawakan demikian. Namun ketika pihak manajemen acara tersebut meminta orang (seniman) Karo terlibat di dalamnya ‘pekena si salah ndai’ kelihatannya orang yang yang saya anggap berkompeten (--saya tidak menyebutnya seniman--) akan hal itu ewuh-pakewuh dan cuek. Alasan tidak lain dan tidak lebih karena ‘serpi’ atau ‘siempat suki’. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Korem Sihombing, orang Harianboho ketika dulu kami sering bergabung dalam berbagai acara. “Kita harus tau saat kapan cari duit, dan kapan misinya budaya kita. Kalau untuk misi budaya kita tidak pernah mempermasalahkan honor”, katanya. Cukup salut dan mendalam maknanya.
"Sebab arus nge siangka apai cari duit, apai petandaken kesenianta,
Ketika orang non-Karo mengekspresikan kesenian Karo dalam berbagai bentuk, katakanlah lagu atau tarian, selalu saja banyak kritikan. “Uga kin bagah perlandek Karo, uga kin bagah pengendeken lagu Karo, uga kin bagah ose Karo” dan seterusnya. Hal ini kerap kali datang komentar bukan hanya dari masyarakat saja, tetapi juga dari senimannya sendiri. Hal ini sangat dan sangat wajar, karena ada rasa memiliki, emosional ke-Karoan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana kita merasa memilikinya. Boneka pajangan yang mengenakan ose penganten Karo di anjungan propinsi Sumatera Utara Taman Mini saja tidak ada yang peduli. Lihatlah bulang-bulang dan tudung yang dikenakan boneka tersebut. Demikian juga dengan uis-uis yang dikenakannya. Padahal sudah berulang kali petinggi-petinggi dan pejabat-pejabat Pemda Karo datang ke tempat itu. Boneka itu sendiri tidak ditempatkan di rumah adat Karo, namun di rumah adat Toba (rumah atau jabu bolon). (Sebagai catatan: dua tahun yang lalu, saya dan Junianto Meliala pernah memperbaikinya).
Perubahan dalam kesenian Karo memang tidak terjadi secara progressif, malah terjadinya kemunduran di berbagai sisi. Misalnya dari sisi perkembangan teknologi, sangat sukar ditemukan pembuat sarune, kulcapi, surdam, meskipun dari sisi akademisi ada upaya membuat studi organologi dan akustika. Namun tidak lebih hanya sebagai tugas akhir membuat skripsi. Tidak ada pengembangan teknis masing-masing instrumen terkait dengan pembuatan dan memainkannya. Padahal jika kita lihat sejarah alat musik Horn di Barat, awalnya memang dari tanduk. Tapi lihatlah perkembangan selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana alat musik tersebut beradaptasi menjadi alat musik yang namanya tetap Horn (tanduk kerbau). Kita hanya bisa memakai gendang kibot dengan segala keterbatasan. Meminjam istilah Clifford Geertz, dapat dikatakan terjadi involusi dalam kesenian (musik) kita. Kita sulit keluar dari segala macam problema yang tidak hanya dari senimannya saja, tetapi juga dari masyrakat atau pembuat policy yang terkait dengan kesenian Karo itu sendiri.
Seniman kita memang melakukan proses kreatif, tetapi kita dapat lihat sejauh mana proses kreatif itu sudah dilakukan oleh mereka sampai saat ini. Jika hasilnya seperti kita lihat seperti sekarang ini, hal itu wajar-wajar saja, karena kreatifitas tidak muncul begitu saja. Sangat diperlukan pengalaman-pengalaman estetika. Dimana pengalaman-pengalaman estetika ini didapat, tentunya dari bermacam-macam sumber. Bermacam-macam sumber ini tentunya ada yang terkait dengan dana, dan ada juga yang tidak membutuhkan dana. Bagaimana saya dapat menggambarkan seperti apa oratorio, suita-nya Johann Sebastian Bach, Allemande, musik kontemporernya Michael Tenzer, dan sebagainya jika saya tidak pernah mengenalnya sama sekali. Justru itu ada konsekwensi yang mesti dilalui jika ingin kreatifitas jalan. Dan ini mendukung ke berbagai hal, brangkali ekonomi seniman itu sendiri, jika itu selalu yang menjadi alasan. Mau enggak seniman latihan?
Demikian juga dari sisi pembuat kebijakan, meskipun tidak perlu membuat aturan-aturan. Tetapi setidaknya perlu dibicarakan, dianalisis, dan pengembangan seperti apa yang dibutuhkan, ibaratnya seperti penyakit, sehingga tidak salah obat. Sudahkah kita peduli akan kesenian Karo sebagai warisan budaya leluhur kita yang unik tersebut? Saya tidak tahu seperti apa kebijakan yang dibuat oleh pemda tentang kesenian. Di legislative kita sekarang ada dua orang seniman Karo. Tapi bagi saya itu tidak menjamin, karena bukan profesi itu yang penting, tapi visi dan aksi nyatanya bagi kesenian itu sendiri secara konkrit.
Lihatlah jika ada resepsi perkawinan orang Karo di hotel berbintang di Jakarta. Simbol-simbol Karo itu muncul disana, mulai dari pintu masuk sampai ke paling depan, yaitu pelaminan pengantin. Juga tidak ketinggalan musik pengantar prosesi dan penari-penarinya. Coba kita sik-siki siapa yang membuat pelaminan tersebut, siapa yang menari Terang Bulan dan Mbaba Kampil tersebut? Ya, Pak Buyung, orang Minang, orang Jawa, Melayu, Betawi dan sebagainya. "La kuakap bagi perlandek Karo perlandekna, bagi buta-buta kalak Jawa kuakap", kata seorang pernanden Karo. Lantas, mau apa kita? Cukupkah kita jadi penonton yang mandangi saja? Karawaci, 15/03/07.
Comments
salam kenal,
meski saya bukan orang karo tetapi
saya tertarik mengenal budaya dan kesenian karo yang menurut saya cukup unik dibandingkan dengan kesenian toba,simalungun,dll
saya dan kawan2 berencana membawakan landek mbaba kampil, boleh nggak saya tahu arti lirik lagu Mbaba Kampil,
terimakasih
bujur melala