KARO SKALA MINOR
Julianus P Limbeng*
Saat launching Album ‘Toba Dream 1’ MS Production yang diarans Viky Sianipar beberapa tahun yang lalu, [ -- dimana lagu yang menjadi andalannya Piso Surit, karya Djaga Depari --] Bens Leo, seorang pengamat musik memberikan komentar “Koq lagunya seperti lagu Sunda”. Saya yang hadir saat itu tidak memberikan komentar apapun, karena saya ingin tahu sejauh mana mereka tahu tentang lagu Karo, karena yang dibicarakan adalah lagu tersebut. Demikian juga ketika saya meniup balobat dalam sebuah kesempatan, Pak Suroso Hadimulyo, pangrawit (pemain gamelan) Jawa mengatakan: “Koq kayak Sunda..ya Oom..?” Padahal jika dilakukan analisis musikal, jelas-jelas sebenarnya tidak sama. Namun jika kita simak komentar singkat tersebut, ada beberapa hal sebenarnya menarik dicermati. Pertama, dapat diasumsikan bahwa lagu dan musik Karo kurang populer di masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika lagu ‘Mbiring Manggis’ ciptaan Tumtam Tarigan cukup populer dikira lagu Minang, demikian juga halnya dengan lagu “Ole-Ole’nya Perwira Ginting. Kedua, dari sisi asal-usulnya bisa jadi memang monogenesis, yaitu ada asal-usul yang sama, namun bisa juga poligenesis, tidak ada hubungan sama sekali; Ketiga, terkait dengan lagu tersebut bisa jadi ada pengalaman musikal si pencipta dengan kebudayaan Sunda. Bandingkan di Karo juga dikenal lagu ‘Es Lilin’ versi Karo; Keempat, gaya vokal yang membawakan lagu tersebut belum ‘meKaro’, sehingga karakteristik Karo-nya tidak muncul. Namun pada sisi apapun kita tempatkan munculnya komentar singkat tersebut, perlu melakukan pendalaman. Tetapi satu hal yang muncul di benak saya adalah, sangat menarik membicarakan tangga nada Karo, karena dia merupakan sesuatu yang unik.
Umumnya musik-musik etnik di Indonesia adalah pentatonik (menggunakan hanya lima nada), dengan tangga nada mayor atau skala mayor (major scale). Beda halnya dengan Karo, meskipun sebenarnya juga ditemukan skala mayor namun ciri Karo-nya lebih dikenal skala minor (minor scale) ditambah dengan rengget (melisma) sebagai gaya baik dalam menyanyi maupun instrumen musik. Jika dikaitkan dengan istilah musik Barat, saya melihat kecenderungan bahwa tangga nada Karo sebenarnya minor, karena dapat kita kaji lewat lagu-lagu periode lama sebelum tahun 50-an, baik lagu-lagu perkolong-kolong, umumnya menggunakan minor scale. Disamping itu juga nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen musik Karo ada kecenderungan menggunakan tangga nada minor. Misalnya alat musik sebagai pembawa melodi seperti sarune, balobat, baik alat petik sekalipun, misalnya kulcapi menghasilkan skala minor. Disamping itu dalam tradisi musik vokal juga, misalnya io-io pagar batu, pemasu-masun, dan bilang-bilang juga dapat diidentifikasi sebagai skala minor. Saya tidak tahu bagaimana halnya dengan murbab (salah satunya alat musik gesek Karo, bow instrument), karena sampai saat ini saya belum pernah mendengar suaranya, kecuali alat musiknya di sebuah museum. Namun dari beberapa contoh instrumen dan vokal tersebut dapat ditarik sebagai sebuah simpulan sementara, bahwa ada kecenderungan menggunakan skala minor.
Di Karo sendiri tidak ada penyebutan untuk skala minor tersebut, [-- dan memang tidak perlu mem-Baratkan istilah Karo, karena musik Karo bukan musik Barat --], namun di masyarakat Sunda penyebutannya dikenal dengan istilah madenda dengan gaya melisma yang juga dikenal dengan term cengkok. Meskipun sama-sama menggunakan tangga nada minor dan melisma, namun di Sunda hanya terdapat pada alat musik suling, rebab dan vokal. Namun pada musik Karo, rengget tidak hanya pada musik vokal, tetapi juga terdapat pada beberapa instrumen melodis, misalnya sarune, kulcapi, surdam, balobat, dan pingko-pingko. Rengget dan cengkok itu jelas berbeda dari sisi penggarapan nadanya, demikian juga dengan teknik.
Secara analisis musikal, sebenarnya masih terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan antaranya, misalnya Sunda meskipun secara umum kedengarannya minor scale, namun dalam penggunaan akornya sebenarnya mayor, sedangkan Karo lebih cenderung ke minor, meskipun dapat digunakan mayor dan minor sekaligus dalam beberapa buah lagu. Sebagai contoh seorang perkolong-kolong sudah terbiasa menyanyikan sebuah lagu dengan menggunakan major scale dan minor scale. Misalnya lagu ‘Gula Tualah’ bisa dinyanyikan dengan minor dan mayor. Kalau demikian halnya, bagaimana hubungan skala minor Sunda dan Karo? Siapa yang meniru? Ini tentunya masalah “ise leben ku tiga” saja. Musik Karo sebenarnya juga unik dan menarik untuk digarap. Lagu Piso Surit meskipun pernah ditayangkan di MTV, banyak yang tidak mengetahui lagu tersebut lagu (berbahasa) Karo. Kata seorang mahasiswa Karo: “Labo teh kalak lagu Karo ah ndai, sedap akapna tukurna..” Malah seorang mahasiswa saya orang Tionghoa mengira lagu itu lagu Vietnam. Ironisnya lagi, disebuah buku lagu-lagu daerah Indonesia, Piso Surit disebutkan sebagai lagu Aceh. Sangat disayangkan.■
Saat launching Album ‘Toba Dream 1’ MS Production yang diarans Viky Sianipar beberapa tahun yang lalu, [ -- dimana lagu yang menjadi andalannya Piso Surit, karya Djaga Depari --] Bens Leo, seorang pengamat musik memberikan komentar “Koq lagunya seperti lagu Sunda”. Saya yang hadir saat itu tidak memberikan komentar apapun, karena saya ingin tahu sejauh mana mereka tahu tentang lagu Karo, karena yang dibicarakan adalah lagu tersebut. Demikian juga ketika saya meniup balobat dalam sebuah kesempatan, Pak Suroso Hadimulyo, pangrawit (pemain gamelan) Jawa mengatakan: “Koq kayak Sunda..ya Oom..?” Padahal jika dilakukan analisis musikal, jelas-jelas sebenarnya tidak sama. Namun jika kita simak komentar singkat tersebut, ada beberapa hal sebenarnya menarik dicermati. Pertama, dapat diasumsikan bahwa lagu dan musik Karo kurang populer di masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika lagu ‘Mbiring Manggis’ ciptaan Tumtam Tarigan cukup populer dikira lagu Minang, demikian juga halnya dengan lagu “Ole-Ole’nya Perwira Ginting. Kedua, dari sisi asal-usulnya bisa jadi memang monogenesis, yaitu ada asal-usul yang sama, namun bisa juga poligenesis, tidak ada hubungan sama sekali; Ketiga, terkait dengan lagu tersebut bisa jadi ada pengalaman musikal si pencipta dengan kebudayaan Sunda. Bandingkan di Karo juga dikenal lagu ‘Es Lilin’ versi Karo; Keempat, gaya vokal yang membawakan lagu tersebut belum ‘meKaro’, sehingga karakteristik Karo-nya tidak muncul. Namun pada sisi apapun kita tempatkan munculnya komentar singkat tersebut, perlu melakukan pendalaman. Tetapi satu hal yang muncul di benak saya adalah, sangat menarik membicarakan tangga nada Karo, karena dia merupakan sesuatu yang unik.
Umumnya musik-musik etnik di Indonesia adalah pentatonik (menggunakan hanya lima nada), dengan tangga nada mayor atau skala mayor (major scale). Beda halnya dengan Karo, meskipun sebenarnya juga ditemukan skala mayor namun ciri Karo-nya lebih dikenal skala minor (minor scale) ditambah dengan rengget (melisma) sebagai gaya baik dalam menyanyi maupun instrumen musik. Jika dikaitkan dengan istilah musik Barat, saya melihat kecenderungan bahwa tangga nada Karo sebenarnya minor, karena dapat kita kaji lewat lagu-lagu periode lama sebelum tahun 50-an, baik lagu-lagu perkolong-kolong, umumnya menggunakan minor scale. Disamping itu juga nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen musik Karo ada kecenderungan menggunakan tangga nada minor. Misalnya alat musik sebagai pembawa melodi seperti sarune, balobat, baik alat petik sekalipun, misalnya kulcapi menghasilkan skala minor. Disamping itu dalam tradisi musik vokal juga, misalnya io-io pagar batu, pemasu-masun, dan bilang-bilang juga dapat diidentifikasi sebagai skala minor. Saya tidak tahu bagaimana halnya dengan murbab (salah satunya alat musik gesek Karo, bow instrument), karena sampai saat ini saya belum pernah mendengar suaranya, kecuali alat musiknya di sebuah museum. Namun dari beberapa contoh instrumen dan vokal tersebut dapat ditarik sebagai sebuah simpulan sementara, bahwa ada kecenderungan menggunakan skala minor.
Di Karo sendiri tidak ada penyebutan untuk skala minor tersebut, [-- dan memang tidak perlu mem-Baratkan istilah Karo, karena musik Karo bukan musik Barat --], namun di masyarakat Sunda penyebutannya dikenal dengan istilah madenda dengan gaya melisma yang juga dikenal dengan term cengkok. Meskipun sama-sama menggunakan tangga nada minor dan melisma, namun di Sunda hanya terdapat pada alat musik suling, rebab dan vokal. Namun pada musik Karo, rengget tidak hanya pada musik vokal, tetapi juga terdapat pada beberapa instrumen melodis, misalnya sarune, kulcapi, surdam, balobat, dan pingko-pingko. Rengget dan cengkok itu jelas berbeda dari sisi penggarapan nadanya, demikian juga dengan teknik.
Secara analisis musikal, sebenarnya masih terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan antaranya, misalnya Sunda meskipun secara umum kedengarannya minor scale, namun dalam penggunaan akornya sebenarnya mayor, sedangkan Karo lebih cenderung ke minor, meskipun dapat digunakan mayor dan minor sekaligus dalam beberapa buah lagu. Sebagai contoh seorang perkolong-kolong sudah terbiasa menyanyikan sebuah lagu dengan menggunakan major scale dan minor scale. Misalnya lagu ‘Gula Tualah’ bisa dinyanyikan dengan minor dan mayor. Kalau demikian halnya, bagaimana hubungan skala minor Sunda dan Karo? Siapa yang meniru? Ini tentunya masalah “ise leben ku tiga” saja. Musik Karo sebenarnya juga unik dan menarik untuk digarap. Lagu Piso Surit meskipun pernah ditayangkan di MTV, banyak yang tidak mengetahui lagu tersebut lagu (berbahasa) Karo. Kata seorang mahasiswa Karo: “Labo teh kalak lagu Karo ah ndai, sedap akapna tukurna..” Malah seorang mahasiswa saya orang Tionghoa mengira lagu itu lagu Vietnam. Ironisnya lagi, disebuah buku lagu-lagu daerah Indonesia, Piso Surit disebutkan sebagai lagu Aceh. Sangat disayangkan.■
Comments
Saya lumayan bingung untuk meneliti indikasikan kesamaan skala Madenda (Da-La-Ti-Ni-Mi-Da,c-e-f-a-b-c (do-mi-fa-la-si-do)) Dan skala yang biasa dimainkan di musik adat suku karo. apakah ada sebuah perpektif sejarah yang bisa menjelaskan mengapa kedua skala ini bisa sama. Kalau kita melihat lagi secara geografis jarak antara kedua pulaunya juga sudah sangat jauh, antara Tanah karo yang berada di utara sumatera dan Pulau Jawa atau pulau Bali, Jika di jawa,sunda dan bali memiliki indikasi kesamaan skala mungkin wajar-wajar saja karena jarak geografisnya berdekatan. Bagaimana bisa ? Lintas budayanya bahkan tidak terindikasi...