PEMBERDAYAAN KESENIAN TRADISIONAL DALAM RANGKA PELESTARIAN KEBUDAYAAN
*
Julianus P Limbeng**
1. Kesenian Tradisional
Kesenian adalah perwujudan ungkapan jiwa melalui media rupa (gambar, lukis, patung, dll.), suara (musik: nyanyian, instrumental), gerak (tari, teater), dan bahasa (sastra, ceritera). Dari sisi bentuknya, suatu pertunjukan kesenian tidak hanya menyangkut satu media kesenian, melainkan juga bisa menyangkut berbagai media sekaligus. Seni teater, umpamanya, merupakan kesatuan dari berbagai media.
Demikian juga dari sisi isi atau nilainya, kesenian merupakan bagian dari totalitas kehidupan masyarakat, dari suatu lingkup kebudayaan. Karena itu, selain kesenian berisikan nilai-nilai keindahan (estetika) sebagai ekspresi jiwa/perasaan individual, ia juga merupakan aktualisasi budaya (identitas, etnisitas) secara sosial, spiritual, dan environmental. Dalam praktik, aspek-aspek tersebut satu sama lain terjalin erat, overlapping, sulit untuk dipisahkan satu sama lain.
Kesenian dalam suatu lingkup budaya, berbeda antara satu dan yang lain. Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Karena itu, pola atau posisi seniman dalam lingkup kebudayaan Indonesia itu pun bermacam-macam: ada yang profesional dalam artian menjadikan seni sebagai profesi, dan banyak juga seniman yang memiliki profesi-profesi lainnya, seperti petani, nelayan, pemuka adat, dukun, dll.
Atas dasar keragaman baik dari sisi bentuk maupun isi, maka kesenian tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat bersangkutan.
2. Karakteristik Kesenian Tradisional
Semua kesenian tradisional memiliki pola atau pakem, yang membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari yang lainnya. Akan tetapi, pakem tersebut bukanlah suatu aturan yang “mati,” melainkan suatu potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Sehingga, kesenian dalam kehidupannya secara tradisional pun, seyogyanya mampu mengakomodasi perubahan-perubahan isi yang sesuai dengan kepentingan situasi demi situasi, waktu demi waktu. Jika kesenian tradisional memiliki pakem yang kuat, ia pun memiliki ruang kebebasan yang luwes. Keduanya, pakem dan kebebasan kreatif, terjalin secara integral, menjadi semacam grammar atau bahasa-ungkap yang organis dan cerdas, sehingga perkembangannya pun dapat tumbuh secara alamiah.
Atas dasar itu, yang disebut kesenian tradisi dan upaya pelestariannya (preservasi, konservasi), harus menyangkut kedua aspek yaitu (1) bentuk, pola, atau pakem-nya, dan (2) daya (potensi) untuk berubah. Dalam kedua aspek itulah sesungguhnya terletak nilai, sehingga kesenian tradisi di Nusantara biasa disebut sebagai “tradisi hidup” (living tradition), bukan suatu tradisi yang mati atau beku.
3. Kesenian Tradisional dan Media Komunikasi
Selain sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, kesenian juga memiliki muatan-muatan atau pesan-pesan yang berisikan pendidikan kultural, spiritual, komentar sosial, dsb. Dari suatu pertunjukan sastra tutur, umpamanya, selain memiliki nilai-nilai musikal dan sastra, di situ terdapat nilai-nilai ajaran moral, tata hidup, filsafat, dll, yang menjadi referensi atau pegangan baik bagi pelaku maupun penontonnya.
Dengan demikian, untuk memasukkan ajaran-ajaran yang relevan dengan kehidupan masa kini—seperti untuk sosialisasi dan menumbuhkan motivasi masyarakat agar selalu giat belajar—bukanlah sesuatu yang akan merusak idiom kesenian yang bersangkutan, sepanjang itu dilakukan atas dasar grammar kesenian bersangkutan. Bahkan, jika upaya tersebut dapat dilakukan dengan baik, melalui suatu metode dan mekanisme yang tepat, ia diharap akan turut memperkaya idiom kesenian tradisional bersangkutan. Dengan muatan baru, yang sesuai dengan kondisi sosial yang ada, kesenian tarisional itu akan dirasakan sebagai suatu nilai yang selalu updated.
4. Tantangan
Secara umum yang menjadi permasalahan terkait kebudayaan dalam RPJMN Indonesia adalah masalah jati diri bangsa, lemahnya perlindungan terhadap keragaman dan kekayaan budaya bangsa dan lemahnya mengelola kebudayaan, yang berhubungan dengan sumber daya manusia mengelola budaya. Dan ini juga termasuk di dalamnya kesenian sebagai bagian dari kebudayan itu sendiri.
Demikian secara umum kehidupan kesenian tradisional kini mendapat tantangan atau hambatan besar, yang penyebabnya bisa diidentifikasi dari dua sudut pandang berikut:
a. Menurunnya daya apresiasi masyarakat, yang disebabkan oleh:
1) gencarnya arus kesenian masa kini, yang melanda berbagai pelosok, telah mempersempit ruang gerak kesenian tradisional. Kesenian modern masa kini memberi banyak pilihan, sehingga banyak yang menggantikan tempat kesenian tradisional dalam peristiwa-peristiwa pertunjukan masyarakat tradisional sekalipun.
2) kesenian masa kini (yang lazim diberi label sebagai seni pop, dangkal, murahan, dsb.), yang lebih mudah diapresiasi oleh kalangan muda, menyebabkan generasi muda makin lama makin tidak memiliki kemampuan mengapresiasi kesenian tradisional.
3) gencarnya “propaganda” atau “arahan” yang sistemik, termasuk dalam pendidikan di sekolah yang berdasar pada pendekatan estetika mono-kultur (Barat), telah mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang kesenian tradisional. Arahan kurikulum dan bahan-bahan ajar kesenian yang mengacu pada estetika Barat, dan telah berjalan lebih dari setengah abad, menyebabkan kesenian tradisional dianggap “seni yang tidak sesuai jaman,” atau bahkan dianggap ”bukan seni.” Ketika penggolongan disiplin seni secara akademis (musik, tari, teater, seni rupa), dihadapkan pada fenomena kesenian tradisional, akan menemui ketidakcocokan. Kesenian seperti debus, yang tidak bisa dikelompokkan pada keempat kategori tersebut, tidak akan dianggap sebagai kesenian. Demikian juga tentang hal yang lebih teknis, seperti komposisi dan tata warna dalam seni rupa; plot dalam naskah drama; pemanggungan, tata cahaya, dan ukuran waktu dalam seni pertunjukan, yang mengacu pada nilai seni Barat (modern), ketika menjadi ukuran dalam melihat kesenian tradisional, akan menghasilkan penilaian ”buruk” atau ”salah.”
4) pemetaan administrasi politik (geopolitik) tidak sama dengan pemetaan geokultural, sedangkan kekuasaan (kebijakan, dana, dll.) ada dalam kotak-kotak geopolitik. Upaya daerah untuk menumbuhkan kesenian atau identitas budaya masing-masing wilayah otonomi tidak mesti sejalan dengan kebudayaan yang sesungguhnya hidup plural di wilayah bersangkutan. Kesenian lokal yang tidak sesuai dengan perhitungan-perhitungan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi, bukan hanya akan ”dibiarkan” melainkan banyak yang dianjurkan untuk ”ditinggalkan,” bahkan ”dilarang.”
5) maraknya program-program paket pariwisata, yang walaupun dari bentuknya mengambil khazanah kesenian tradisional tapi kerap bertentangan dengan norma-norma adat namun lebih banyak dipertunjukkan, sehingga yang dipersepsikan sebagai kesenian yang ”benar” adalah yang menurut minat pariwisata tersebut.
6) karya-karya baru yang bertolak dari khazanah kesenian tradisional dari kalangan akademik dan/atau yang paling banyak dipentaskan di panggung-panggung modern, dan televisi, secara umum dianggap lebih baik, sehingga menurunkan penghargaan terhadap kesenian tradisional yang terdapat dalam masyarakatnya—walaupun di sisi lain fenomena itu meningkatkan kebanggaan masyarakat bersangkutan karena tumbuhnya pengakuan umum terhadap kesenian mereka.
7) masuknya agama “baru” banyak yang kemudian menganggap kepercayaan lokal sebagai kepercayaan ”primitif,” ”terbelakang,” ”sesat,” bahkan ”terlarang.” Maka kesenian-kesenian tradisional yang hidup dalam sistem budaya lokal, yang tak lepas dari sistem kepercayaan atau adatnya, sering pula dianggap ”buruk,” ”haram,” bahkan tak mustahil untuk ”digempur.”
b. Sejalan dengan butir-butir di atas, untuk jenis-jenis kesenian yang tidak diapresiasi publiknya, secara berangsur-angsur menghilangkan minat dan kemampuan seniman dalam melakukan/mempertunjukkannya. Sebagai akibatnya, kini banyak kesenian tradisional yang tidak lagi hidup, dan senimannya pun sudah tidak ada lagi.
Kasus kurangnya perhatian dan minat anak-muda terhadap kesenian tradisional bukanlah hanya merupakan sebab, melainkan akibat. Atas dasar kondisi seperti diuraikan di atas, dan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, perlu dilakukan upaya pemberdayaan kesenian-kesenian tradisional dalam rangka pelestarian kesenian tradisional tersebut.
Dalam upaya pelestarian tersebut, secara mendasar menyangkut dua hal. Pertama, adalah sosialisasi, diskusi, dan pelatihan-pelatihan dengan kelompok kesenian, agar mereka memiliki pemahaman cukup mendalam terhadap materi (content, message) yang akan disampaikan, sehingga bisa dicerna dan diterjemahkan melalui idiom seni mereka sendiri, dan dengan suatu kemampuan teknis yang membuat pertunjukannya tetap menarik sebagai kesenian. Praktik seperti ini, dan dengan isu-isu lain yang relevan, akan pula menjadikan idiom seni lama (misalnya ketoprak) menjadi segar sebagai pertunjukan yang up to date.
Kedua, adalah membuat modul-modul pelatihan dan pertunjukan perlu disusun, baik yang bersifat “eksklusif” khusus untuk suatu jenis kesenian, yang merangkum beberapa jenis kesenian dari suatu budaya, ataupun dengan pendekatan multikultur, sehingga dengan itu akan turut memperluas wawasan kesenian/budaya masyarakat.
5. Upaya
Upaya pemberdayaan kesenian seperti terurai di atas, sejalan pula dengan kebijakan pembangunan kebudayaan Pemerintah Pusat, melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia yang dapat disarikan sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengelolaan kebudayaan bangsa meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan budaya untuk peningkatan kualitas hidup bangsa.
b. Meningkatkan industri dan karya budaya yang mengacu pada nilai-nilai luhur budaya bangsa.
c. Meningkatkan daya internalisasi dan penerapan nilai luhur budaya bangsa dalam perilaku masyarakat.
d. Mengikuti event-event internasional dalam rangka memupuk persahabatan antar bangsa dan promosi kebudayaan Indonesia (Contoh: IPAM, Art Summit, Indonesia Dance Festival, dll). – Perlu ratifikasi Konvensi UNESO tahun 2005 ttg Perlindungan dan Promosi Budaya.
e. Meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pengembangan sistem informasi kebudayaan (Contoh: SIKT – Prof. E. Sedyawati - dan Peta Budaya – Prof. Sri Hastanto);
f. Mengembangkan SDM di bidang Kebudayaan dan Kepariwisataan serta sumber daya budaya itu sendiri.
Pengembangan dalam rangka pelestarian kesenian tradisional merupakan gerakan sosial dan moral yang dilakukan oleh segenap pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk menumbuh-kembangkan kembali budaya nusantara dalam rangka mewujudkan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bermartabat. Guna mewujudkan aksi tersebut, perlu rencana yang jelas mencakup kebijakan, strategi, sasaran/target, serta kegiatan yang akan dilakukan didasarkan pada tujuan pelestarian kesenian tradisional.
6. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pelestarian kesenian tradisional didasarkan pada tujuan aksi dengan upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi komunitas pendukung kesenian, untuk mengaktualisasikan segenap potensi, minat dan bakatnya yang berguna untuk:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesenian tradisional sebagai pembentuk identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bermartabat, sehingga perlu ditransformasikan kepada generasi muda.
2. Mengembangkan minat dan semangat untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional dikalangan masyarakat yang berdaya saing, unggul dan mandiri.
3. Memberikan kesempatan dan kebebasan kepada masyarakat untuk mengekspresikan diri dalam kelompok seni dan budaya.
4. Melindungi dan mengembangan kesenian tradisional yang ada di masyarakat melalui pengembangan dan pemberdayaan kelompok kesenian tradisional.
5. Mengembangkan wawasan kebangsaan di kalangan masyarakat dalam memupuk jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, melalui pelestarian kesenian tradisional.
6. Meningkatkan kemampuan generasi muda dalam pergaulan antar bangsa melalui berbagai aktivitas kesenian.
7. Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi kegiatan kelompok kesenian tradisional melalui institusi atau lembaga terkait.
8. Meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia mengelola kesenian tradisional melalui pendidikan formal dan non-formal. Barangkali di Sumatera Utara sudah perlu dipertimbangkan adanya perguruan tinggi seni (Mis. Institut Seni Indonesia, Medan atau ISI Medan).
7. Strategi
Dalam rangka melestarikan kesenian tradisional (melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan), strategi utama yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi, menginventarisasi, dan pemetaan terhadap jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional dalam wilayah tertentu.
2. Workshop yang melibatkan stakeholders kelompok kesenian untuk mengkaji dan menganalisis jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional guna menentukan prioritas kelompok kesenian yang akan dikembangkan.
3. Mengembangkan dan memberdayakan kelompok kesenian tradisional sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan sebagai wadah bagi masyarakat/generasi muda dalam mengembangkan keterampilan berkesenian, agar kesenian tradisional tetap eksis.
4. Mengembangkan minat dan bakat generasi muda khususnya dalam bidang seni tradisional.
5. Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi/lembaga yang melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan kelompok kesenian tradisional.
6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional.
7. Meningkatkan pementasan kesenian dalam rangka sosialisasi dan menumbuhkan motivasi belajar serta penguatan kelembagaan kesenian.
8. Meningkatkan mutu prosen pembelajaran kesenian tradisional dalam pendidikan formal, mulai dari muatan local di tingkat Sekolah Dasar, Pendidikan Seni Budaya tingkat Sekolah Menengah Lanjutan dan Perguruan Tinggi Seni yang mengakomodasi pendidikan kesenian tradicional.
9. Penyediaan modul pembelajaran jenis-jenis kesenian tradisional serta panduan pengelola kesenian tradisional dalam membina kesenian tradisional di daerah.
10. Memanfaatkan kesenian tradisional untuk kepentingan lain (pro job, pro growth dan pro poor).
8. Target Prioritas
Target yang diprioritaskan dalam Pemberdayaan dalam rangka pelestarian Kesenian Tradisional ditetapkan sebagai berikut.
1. Kelompok Masyarakat/generasi muda yang belum atau telah tergabung dalam wadah atau kelompok kesenian tradisional.
2. Masyarakat/generasi muda yang putus sekolah/kuliah, tidak melanjutkan sekolah/kuliah, buta aksara, menganggur dan tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga memungkinkan peningkatan keterampilan di bidang seni tradisional baik sebagai pelaku kesenian maupun sasaran pendidikan luar sekolah.
3. Masyarakat (akademisi, seniman tradisional, dll) yang memiliki pengetahuan, keterampilan, serta kompetensi di bidang kesenian maupun manajemen sebagai sarana pengembangan kesenian tradisional.
Julianus P Limbeng**
1. Kesenian Tradisional
Kesenian adalah perwujudan ungkapan jiwa melalui media rupa (gambar, lukis, patung, dll.), suara (musik: nyanyian, instrumental), gerak (tari, teater), dan bahasa (sastra, ceritera). Dari sisi bentuknya, suatu pertunjukan kesenian tidak hanya menyangkut satu media kesenian, melainkan juga bisa menyangkut berbagai media sekaligus. Seni teater, umpamanya, merupakan kesatuan dari berbagai media.
Demikian juga dari sisi isi atau nilainya, kesenian merupakan bagian dari totalitas kehidupan masyarakat, dari suatu lingkup kebudayaan. Karena itu, selain kesenian berisikan nilai-nilai keindahan (estetika) sebagai ekspresi jiwa/perasaan individual, ia juga merupakan aktualisasi budaya (identitas, etnisitas) secara sosial, spiritual, dan environmental. Dalam praktik, aspek-aspek tersebut satu sama lain terjalin erat, overlapping, sulit untuk dipisahkan satu sama lain.
Kesenian dalam suatu lingkup budaya, berbeda antara satu dan yang lain. Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Karena itu, pola atau posisi seniman dalam lingkup kebudayaan Indonesia itu pun bermacam-macam: ada yang profesional dalam artian menjadikan seni sebagai profesi, dan banyak juga seniman yang memiliki profesi-profesi lainnya, seperti petani, nelayan, pemuka adat, dukun, dll.
Atas dasar keragaman baik dari sisi bentuk maupun isi, maka kesenian tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat bersangkutan.
2. Karakteristik Kesenian Tradisional
Semua kesenian tradisional memiliki pola atau pakem, yang membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari yang lainnya. Akan tetapi, pakem tersebut bukanlah suatu aturan yang “mati,” melainkan suatu potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Sehingga, kesenian dalam kehidupannya secara tradisional pun, seyogyanya mampu mengakomodasi perubahan-perubahan isi yang sesuai dengan kepentingan situasi demi situasi, waktu demi waktu. Jika kesenian tradisional memiliki pakem yang kuat, ia pun memiliki ruang kebebasan yang luwes. Keduanya, pakem dan kebebasan kreatif, terjalin secara integral, menjadi semacam grammar atau bahasa-ungkap yang organis dan cerdas, sehingga perkembangannya pun dapat tumbuh secara alamiah.
Atas dasar itu, yang disebut kesenian tradisi dan upaya pelestariannya (preservasi, konservasi), harus menyangkut kedua aspek yaitu (1) bentuk, pola, atau pakem-nya, dan (2) daya (potensi) untuk berubah. Dalam kedua aspek itulah sesungguhnya terletak nilai, sehingga kesenian tradisi di Nusantara biasa disebut sebagai “tradisi hidup” (living tradition), bukan suatu tradisi yang mati atau beku.
3. Kesenian Tradisional dan Media Komunikasi
Selain sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, kesenian juga memiliki muatan-muatan atau pesan-pesan yang berisikan pendidikan kultural, spiritual, komentar sosial, dsb. Dari suatu pertunjukan sastra tutur, umpamanya, selain memiliki nilai-nilai musikal dan sastra, di situ terdapat nilai-nilai ajaran moral, tata hidup, filsafat, dll, yang menjadi referensi atau pegangan baik bagi pelaku maupun penontonnya.
Dengan demikian, untuk memasukkan ajaran-ajaran yang relevan dengan kehidupan masa kini—seperti untuk sosialisasi dan menumbuhkan motivasi masyarakat agar selalu giat belajar—bukanlah sesuatu yang akan merusak idiom kesenian yang bersangkutan, sepanjang itu dilakukan atas dasar grammar kesenian bersangkutan. Bahkan, jika upaya tersebut dapat dilakukan dengan baik, melalui suatu metode dan mekanisme yang tepat, ia diharap akan turut memperkaya idiom kesenian tradisional bersangkutan. Dengan muatan baru, yang sesuai dengan kondisi sosial yang ada, kesenian tarisional itu akan dirasakan sebagai suatu nilai yang selalu updated.
4. Tantangan
Secara umum yang menjadi permasalahan terkait kebudayaan dalam RPJMN Indonesia adalah masalah jati diri bangsa, lemahnya perlindungan terhadap keragaman dan kekayaan budaya bangsa dan lemahnya mengelola kebudayaan, yang berhubungan dengan sumber daya manusia mengelola budaya. Dan ini juga termasuk di dalamnya kesenian sebagai bagian dari kebudayan itu sendiri.
Demikian secara umum kehidupan kesenian tradisional kini mendapat tantangan atau hambatan besar, yang penyebabnya bisa diidentifikasi dari dua sudut pandang berikut:
a. Menurunnya daya apresiasi masyarakat, yang disebabkan oleh:
1) gencarnya arus kesenian masa kini, yang melanda berbagai pelosok, telah mempersempit ruang gerak kesenian tradisional. Kesenian modern masa kini memberi banyak pilihan, sehingga banyak yang menggantikan tempat kesenian tradisional dalam peristiwa-peristiwa pertunjukan masyarakat tradisional sekalipun.
2) kesenian masa kini (yang lazim diberi label sebagai seni pop, dangkal, murahan, dsb.), yang lebih mudah diapresiasi oleh kalangan muda, menyebabkan generasi muda makin lama makin tidak memiliki kemampuan mengapresiasi kesenian tradisional.
3) gencarnya “propaganda” atau “arahan” yang sistemik, termasuk dalam pendidikan di sekolah yang berdasar pada pendekatan estetika mono-kultur (Barat), telah mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang kesenian tradisional. Arahan kurikulum dan bahan-bahan ajar kesenian yang mengacu pada estetika Barat, dan telah berjalan lebih dari setengah abad, menyebabkan kesenian tradisional dianggap “seni yang tidak sesuai jaman,” atau bahkan dianggap ”bukan seni.” Ketika penggolongan disiplin seni secara akademis (musik, tari, teater, seni rupa), dihadapkan pada fenomena kesenian tradisional, akan menemui ketidakcocokan. Kesenian seperti debus, yang tidak bisa dikelompokkan pada keempat kategori tersebut, tidak akan dianggap sebagai kesenian. Demikian juga tentang hal yang lebih teknis, seperti komposisi dan tata warna dalam seni rupa; plot dalam naskah drama; pemanggungan, tata cahaya, dan ukuran waktu dalam seni pertunjukan, yang mengacu pada nilai seni Barat (modern), ketika menjadi ukuran dalam melihat kesenian tradisional, akan menghasilkan penilaian ”buruk” atau ”salah.”
4) pemetaan administrasi politik (geopolitik) tidak sama dengan pemetaan geokultural, sedangkan kekuasaan (kebijakan, dana, dll.) ada dalam kotak-kotak geopolitik. Upaya daerah untuk menumbuhkan kesenian atau identitas budaya masing-masing wilayah otonomi tidak mesti sejalan dengan kebudayaan yang sesungguhnya hidup plural di wilayah bersangkutan. Kesenian lokal yang tidak sesuai dengan perhitungan-perhitungan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi, bukan hanya akan ”dibiarkan” melainkan banyak yang dianjurkan untuk ”ditinggalkan,” bahkan ”dilarang.”
5) maraknya program-program paket pariwisata, yang walaupun dari bentuknya mengambil khazanah kesenian tradisional tapi kerap bertentangan dengan norma-norma adat namun lebih banyak dipertunjukkan, sehingga yang dipersepsikan sebagai kesenian yang ”benar” adalah yang menurut minat pariwisata tersebut.
6) karya-karya baru yang bertolak dari khazanah kesenian tradisional dari kalangan akademik dan/atau yang paling banyak dipentaskan di panggung-panggung modern, dan televisi, secara umum dianggap lebih baik, sehingga menurunkan penghargaan terhadap kesenian tradisional yang terdapat dalam masyarakatnya—walaupun di sisi lain fenomena itu meningkatkan kebanggaan masyarakat bersangkutan karena tumbuhnya pengakuan umum terhadap kesenian mereka.
7) masuknya agama “baru” banyak yang kemudian menganggap kepercayaan lokal sebagai kepercayaan ”primitif,” ”terbelakang,” ”sesat,” bahkan ”terlarang.” Maka kesenian-kesenian tradisional yang hidup dalam sistem budaya lokal, yang tak lepas dari sistem kepercayaan atau adatnya, sering pula dianggap ”buruk,” ”haram,” bahkan tak mustahil untuk ”digempur.”
b. Sejalan dengan butir-butir di atas, untuk jenis-jenis kesenian yang tidak diapresiasi publiknya, secara berangsur-angsur menghilangkan minat dan kemampuan seniman dalam melakukan/mempertunjukkannya. Sebagai akibatnya, kini banyak kesenian tradisional yang tidak lagi hidup, dan senimannya pun sudah tidak ada lagi.
Kasus kurangnya perhatian dan minat anak-muda terhadap kesenian tradisional bukanlah hanya merupakan sebab, melainkan akibat. Atas dasar kondisi seperti diuraikan di atas, dan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, perlu dilakukan upaya pemberdayaan kesenian-kesenian tradisional dalam rangka pelestarian kesenian tradisional tersebut.
Dalam upaya pelestarian tersebut, secara mendasar menyangkut dua hal. Pertama, adalah sosialisasi, diskusi, dan pelatihan-pelatihan dengan kelompok kesenian, agar mereka memiliki pemahaman cukup mendalam terhadap materi (content, message) yang akan disampaikan, sehingga bisa dicerna dan diterjemahkan melalui idiom seni mereka sendiri, dan dengan suatu kemampuan teknis yang membuat pertunjukannya tetap menarik sebagai kesenian. Praktik seperti ini, dan dengan isu-isu lain yang relevan, akan pula menjadikan idiom seni lama (misalnya ketoprak) menjadi segar sebagai pertunjukan yang up to date.
Kedua, adalah membuat modul-modul pelatihan dan pertunjukan perlu disusun, baik yang bersifat “eksklusif” khusus untuk suatu jenis kesenian, yang merangkum beberapa jenis kesenian dari suatu budaya, ataupun dengan pendekatan multikultur, sehingga dengan itu akan turut memperluas wawasan kesenian/budaya masyarakat.
5. Upaya
Upaya pemberdayaan kesenian seperti terurai di atas, sejalan pula dengan kebijakan pembangunan kebudayaan Pemerintah Pusat, melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia yang dapat disarikan sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengelolaan kebudayaan bangsa meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan budaya untuk peningkatan kualitas hidup bangsa.
b. Meningkatkan industri dan karya budaya yang mengacu pada nilai-nilai luhur budaya bangsa.
c. Meningkatkan daya internalisasi dan penerapan nilai luhur budaya bangsa dalam perilaku masyarakat.
d. Mengikuti event-event internasional dalam rangka memupuk persahabatan antar bangsa dan promosi kebudayaan Indonesia (Contoh: IPAM, Art Summit, Indonesia Dance Festival, dll). – Perlu ratifikasi Konvensi UNESO tahun 2005 ttg Perlindungan dan Promosi Budaya.
e. Meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pengembangan sistem informasi kebudayaan (Contoh: SIKT – Prof. E. Sedyawati - dan Peta Budaya – Prof. Sri Hastanto);
f. Mengembangkan SDM di bidang Kebudayaan dan Kepariwisataan serta sumber daya budaya itu sendiri.
Pengembangan dalam rangka pelestarian kesenian tradisional merupakan gerakan sosial dan moral yang dilakukan oleh segenap pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk menumbuh-kembangkan kembali budaya nusantara dalam rangka mewujudkan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bermartabat. Guna mewujudkan aksi tersebut, perlu rencana yang jelas mencakup kebijakan, strategi, sasaran/target, serta kegiatan yang akan dilakukan didasarkan pada tujuan pelestarian kesenian tradisional.
6. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pelestarian kesenian tradisional didasarkan pada tujuan aksi dengan upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi komunitas pendukung kesenian, untuk mengaktualisasikan segenap potensi, minat dan bakatnya yang berguna untuk:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesenian tradisional sebagai pembentuk identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bermartabat, sehingga perlu ditransformasikan kepada generasi muda.
2. Mengembangkan minat dan semangat untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional dikalangan masyarakat yang berdaya saing, unggul dan mandiri.
3. Memberikan kesempatan dan kebebasan kepada masyarakat untuk mengekspresikan diri dalam kelompok seni dan budaya.
4. Melindungi dan mengembangan kesenian tradisional yang ada di masyarakat melalui pengembangan dan pemberdayaan kelompok kesenian tradisional.
5. Mengembangkan wawasan kebangsaan di kalangan masyarakat dalam memupuk jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, melalui pelestarian kesenian tradisional.
6. Meningkatkan kemampuan generasi muda dalam pergaulan antar bangsa melalui berbagai aktivitas kesenian.
7. Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi kegiatan kelompok kesenian tradisional melalui institusi atau lembaga terkait.
8. Meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia mengelola kesenian tradisional melalui pendidikan formal dan non-formal. Barangkali di Sumatera Utara sudah perlu dipertimbangkan adanya perguruan tinggi seni (Mis. Institut Seni Indonesia, Medan atau ISI Medan).
7. Strategi
Dalam rangka melestarikan kesenian tradisional (melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan), strategi utama yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi, menginventarisasi, dan pemetaan terhadap jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional dalam wilayah tertentu.
2. Workshop yang melibatkan stakeholders kelompok kesenian untuk mengkaji dan menganalisis jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional guna menentukan prioritas kelompok kesenian yang akan dikembangkan.
3. Mengembangkan dan memberdayakan kelompok kesenian tradisional sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan sebagai wadah bagi masyarakat/generasi muda dalam mengembangkan keterampilan berkesenian, agar kesenian tradisional tetap eksis.
4. Mengembangkan minat dan bakat generasi muda khususnya dalam bidang seni tradisional.
5. Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi/lembaga yang melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan kelompok kesenian tradisional.
6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional.
7. Meningkatkan pementasan kesenian dalam rangka sosialisasi dan menumbuhkan motivasi belajar serta penguatan kelembagaan kesenian.
8. Meningkatkan mutu prosen pembelajaran kesenian tradisional dalam pendidikan formal, mulai dari muatan local di tingkat Sekolah Dasar, Pendidikan Seni Budaya tingkat Sekolah Menengah Lanjutan dan Perguruan Tinggi Seni yang mengakomodasi pendidikan kesenian tradicional.
9. Penyediaan modul pembelajaran jenis-jenis kesenian tradisional serta panduan pengelola kesenian tradisional dalam membina kesenian tradisional di daerah.
10. Memanfaatkan kesenian tradisional untuk kepentingan lain (pro job, pro growth dan pro poor).
8. Target Prioritas
Target yang diprioritaskan dalam Pemberdayaan dalam rangka pelestarian Kesenian Tradisional ditetapkan sebagai berikut.
1. Kelompok Masyarakat/generasi muda yang belum atau telah tergabung dalam wadah atau kelompok kesenian tradisional.
2. Masyarakat/generasi muda yang putus sekolah/kuliah, tidak melanjutkan sekolah/kuliah, buta aksara, menganggur dan tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga memungkinkan peningkatan keterampilan di bidang seni tradisional baik sebagai pelaku kesenian maupun sasaran pendidikan luar sekolah.
3. Masyarakat (akademisi, seniman tradisional, dll) yang memiliki pengetahuan, keterampilan, serta kompetensi di bidang kesenian maupun manajemen sebagai sarana pengembangan kesenian tradisional.
9. Kegiatan Pokok
Guna merealisasikan pelestarian (perlindungan, pengembangan, pemanfaatan) tersebut, perlu dilakukan beberapa kegiatan, seperti:
1. Melaksanakan identifikasi, inventarisasi, dan pemetaan terhadap jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional dalam wilayah tertentu;
2. Melakukan Workshop yang melibatkan stakeholders kesenian untuk mengkaji dan menganalisis jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional guna menentukan prioritas kelompok kesenian yang akan dikembangkan.
3. Pengembangan dan Pemberdayaan Kelompok Seni Tradisional, berupa :
a. Sosialisasi mengenai pentingnya kesenian tradisional sebagai kekayaan dan keragaman budaya bangsa bagi stakeholders yang terlibat maupun masyarakat luas;
b. Merangsang ke arah upaya pembentukan kelompok atau perkumpulan seni tradisional di masyarakat sebagai agen pelestari utama kesenian tradisional;
c. Pelatihan manajemen dan teknis kesenian bagi pengelola atau kader penggerak seni tradisional;
d. Studi/kajian yang dapat memberikan rekomendasi kebijakan dalam menunjang keberlanjutan kelompok/perkumpulan seni tradisional kepada pemerintah.
4. Pengembangan minat dan bakat serta keterampilan masyarakat/ generasi muda, khususnya dalam bidang seni tradisional, meliputi:
a. Rekrutmen warga belajar pada satu bidang kesenian tradisional sesuai minat dan bakatnya melalui pendidikan formal dan/ atau non formal;
b. Pelatihan kesenian tradisional untuk meningkatkan sumber daya manusia baik sebagai praktisi maupun sebagai pengelola kesenian;
c. Penerbitan media informasi (misalnya buletin, leaflet, dsb.) tentang keragaman kesenian tradicional sebagai wahana untuk saling tukar informasi antarpihak;
5. Membuat wahana dan sarana pengembangan kreativitas dan ekspresi baik di tingkat lokal, nasional maupun global;
6. Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar-instansi/ lembaga, meliputi :
a. Peningkatan kerjasama lintas sektoral, masyarakat, perguruan tinggi, kelompok kesenian, dan lembaga-lembaga lain untuk pemberdayaan lembaga tersebut guna pengembangan kesenian tradisional;
b. Pembentukan forum komunikasi antar kelompok/perkum-pulan kesenian tradisional di daerah untuk tukar menukar informasi dan pengalaman dalam pengembangan kesenian tradisional;
c. Mengintensifkan forum komunikasi antar kelompok/perkum-pulan kesenian tradisional guna mengevaluasi perencanaan, pelaksanaan dan hambatan dalam pengembangan kesenian tradisional.
7. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara eksistensi dan pengembangan kesenian tradisional, meliputi :
a. Pementasan kesenian tradisional dalam forum peringatan hari besar, penyambutan tamu, serta kegiatan adat dan budaya masyarakat;
b. Lomba/festival dan eksebisi kesenian tradisional di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi, nasional;
c. Muhibah kesenian tradisonal antarkabupaten/kota, provinsi, nasional dan ke manca negara.
8. Sinergisitas antara pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten/ kota), swasta, dan masyarakat (lembaga adat, sanggar seni, dll);
Terima Kasih. Semoga bermanfaat.
Medan, 4 Desember 2009.
* Disampaikan dalam Peringatan Tiga Puluh Tahun Etnomusikologi USU Medan, di Fakultas Sastra USU, Jumat, 4 Desember 2009.
** Alumni terbaik Fakultas Sastra USU Medan tahun 1994, dari jurusan Etnomusikologi.
Comments