SUKU AKIT: MENJAGA DAN MEWARISI TRADISI ADAT
Julianus P Limbeng
Speed boad yang kami tumpangi dari Dumai menuju pulau Rupat, sangatlah berdesak-desakan. Meskipun sarat penumpang, namun kecepatan kapal kecil tersebut yang seakan-akan terbang di atas riak gelombang laut Selat Malaka sangat mengocok perut, sehingga bagi yang tidak terbiasa bisa pusing, karena cukup mengocok perut. Selama perjalanan speed boat tersebut singgah di beberapa pelabuhan yang sangat kecil. Dan sepanjang perjalanan kita bisa menyaksikan pasir-pasir putih sepanjang 12 km dan hutan-hutan mangrove yang masih sangat alami. Selama lebih kurang dua jam akhirnya kami melangkahkan kaki di Tanjung Medang, yang merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh suku Akit. Di pelabuhan tradisional ini, kita akan disambut oleh suara burung wallet yang diputar melalui kaset atau CD, karena di daerah ini banyak sarang burung wallet. Hal seperti ini dapat kita saksikan di desa-desa sekitarnya, seperti Tanjung Punak dan Tanjung Rhu.
Speed boad yang kami tumpangi dari Dumai menuju pulau Rupat, sangatlah berdesak-desakan. Meskipun sarat penumpang, namun kecepatan kapal kecil tersebut yang seakan-akan terbang di atas riak gelombang laut Selat Malaka sangat mengocok perut, sehingga bagi yang tidak terbiasa bisa pusing, karena cukup mengocok perut. Selama perjalanan speed boat tersebut singgah di beberapa pelabuhan yang sangat kecil. Dan sepanjang perjalanan kita bisa menyaksikan pasir-pasir putih sepanjang 12 km dan hutan-hutan mangrove yang masih sangat alami. Selama lebih kurang dua jam akhirnya kami melangkahkan kaki di Tanjung Medang, yang merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh suku Akit. Di pelabuhan tradisional ini, kita akan disambut oleh suara burung wallet yang diputar melalui kaset atau CD, karena di daerah ini banyak sarang burung wallet. Hal seperti ini dapat kita saksikan di desa-desa sekitarnya, seperti Tanjung Punak dan Tanjung Rhu.
Selama kami berada di pulau Rupat, kami tidak pernah bertemu dengan kendaraan beroda empat. Namun sarana untuk itu telah ada. Jalan-jalan yang menghubungkan antara desa ke desa telah dibangun permanent dari beton. Di Pulau Rupat juga tidak ada terdapat hotel ataupun motel, satu-satunya tempat menginap adalah wisma kecamatan yang terletak di Tanjung Rhu. Di wisma inilah kami menginap sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya ke Desa Titi Akar, dimana di desa ini mayoritas dihuni oleh suku Akit. Di Tanjung Rhu ini, kita bisa menikmati indahnya pasir putih yang langsung berhadapan dengan Selat Malaka. Dari desa ini kita bisa melihat kapal-kapal tanker berbendera asing. Dan pada malam hari kita bisa melihat kelap-kelip cahaya lampu kapal-kapal yang melintas di selat tersebut, bahkan cahaya lampu negeri Malaysia. Begitu dekat dengan Malaysia, sehingga produk-produk yang digunakan di Pulau Rupat ini didominasi oleh produk Malaysia, seperti sepeda motor.
Di Pulau ini kami disuguhi buah durian yang sangat manis dan beraroma. Durian inilah meruapakan salah satu buah yang banyak terdapat di Pulau Rupat, disamping jenis-jenis tanaman lain seperti coklat dan kelapa. Karena kesulitan memasarkannya keluar dari Rupat, kebanyakan durian ini diolah oleh masyrakat setempat (Tionghoa) menjadi makanan lempok durian.
Keesekoan harinya, kami berangkat menuju Desa Titi Akar. Desa Titi Akar dapat ditempuh dengan kapal cepat dengan waktu 15 menit. Sebelum melabuh di dermaga tradisional di sana, dari tengah laut kita dapat melihat warna merah menyala. Semakin dekat ke daratan, semakin jelaslah, bahwa warna merah tersebut adalah kuil Budha, kuil tertua di daerah tersebut. Di desa inilah terdapat suku Akit. Meskipun telah berbaur dengan suku-suku pendatang, seperti Tionghoa, Batak, Jawa, Bugis, Minang dan sebagainya, namun mereka cukup gampang dikenali karena mereka masih erat terkait dengan adapt dan tradisinya. Merekan mempunyai kebudayaan yang khas, yang menurut beberapa pendapat merupakan perpaduan antara budaya Cina dan budaya local (Melayu-Islam). Oleh sebab itu suku Akit mengenal upacara khitanan bagi anak laki-laki dan juga hari raya kurban. Namun di satu sisi mereka tetap taat dengan kebudayaan atau ajaran Budha atau Kong Hu Cu.
Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selam ini diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Kehidupan suku Akit mayoritas masih sangat dekat dengan alam meskipun sebagian masyrakatnya sudah mengenal bahkan terpengaruh dengan budaya luar. Kebanyakan dari mereka masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dan hasil laut. Mereka hidup menangkap ikan serta berkebun karet dan kelapa. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam. Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi. Panen beras setiap tujuh-delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan.
Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh ‘pembangunan’ namun karena letaknya yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku di sekitarnya, misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Namun meski demikian suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek moyangnya.
Jika ditinjau dari segi kesejarahan, kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib-Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi menjadi tiga tugas, yaitu: (1) rombongan yang merakit di sungai, disebut Akit Biasa; (2) rom bongan yang merintis jalan di sungai disebut dengan Akit Ratas; dan (3) rombongan yang menebang kayu di hutan yang disebut dengan Akit Hutan.[1] Menurut bebrapa sumber tradisi lisan, Suku Akit Hutan inilah yang kemudian menjadi suku hutan. Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian hari dijual oleh Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya pada abad ke-18.
Nusrin Caniago (1985) mengutip pendapat H.A. Hijmans van Anrooij (1885:347) dalam Het Rijk van Siak, mengatakan suku Akit merupakan keturunan orang pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai selatan Selat Malaka. Suku Akit di Siak dikatakannya terbagi terbagi atas Akit Peguling dan Akit Morong. Yang terakhir itu terbagi atas Akit Ratas dan Akit Biasa. Sedabgkan WBC Wintgest dan E.M. Unlenbech dalam Encyclopaedic van Nederlansche Indie, berpendapat bahwa orang Akit ini termasuk keturunan bangsa Negritisch (Negrito). Hal ini tampak dari rambut mereka yang keriting dan badan yang kekar besar. Mereka mendiami Sungai Mandau cabang Sungai Siak. Jumlah mereka pada abad ke-15 ditaksir sekitar 300 orang, dengan jumlah perempuan lebih sedikit dari lelaki. Mereka membuat rumah di atas rakit, mempunyai perapian dari pasir dan abu.
Tetapi tradisi lisan yang berkembang pada tokoh-tokoh adat Suku Akit, misalnya tradsi lisan yang diketahui oleh Batin (Kepala Suku) Hutan Panjang di Pulau Rupat menyebutkan bahwa berasal dari rakyat Kerajaan GAsib abad 15-17. Setelah Aceh menyerang Gasib mereka menghindar ke Sungai Mandau mempergunakan rakit. Di Mandau bertemu dengan Akit Akit Perawang[2] dan Sakai[3].
Setelah muncul Kerajaan Siak menggantikan Kerajaan Gasib tahun 1723, maka daerah mereka termasuk daerah Kesultanan Siak dibawah kekuasaan Datuk Laksamana Bukit Batu. Karena mereka tidak mempunyai hak atas tanah ulayat (sebab yang berkuasa adalah Batin Perawang) maka mereka meminta pindah ke Pulau Rupat.
Untuk mendapatkan Pulau Rupat, mereka harus menebus pulau itu kepada orang Rempang berupa sekerat tampi sagu, sekerat mata beras, sekaerat dayung emas dan sekerat mata kujur (kojor). Karena orang Akit tidak memenuhi syarat itu, maka mereka mengadu kepada Datuk Laksamana Bukit Batu. Datuk menyampaikan keinginan mereka kepada Sultan Siak. Sultan pun memeberikan izin, Datuk Laksamana Bukit Batu diutus untuk memberikan semua syrat, sambil mengantarkan orang Akit ke Pulau Rupat. Jumlah penduduk yang pindah saat itu diperkirakan lebih kurang 200 orang lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak. Dalam serah terima tersebut orang Rempang telah berpesan kepada orang Akit “Pulau Rupat ini jangan sampai diserahkan lagi kepada tangan orang lain”. Semenjak saat itu suku Akit telah menetap disana. Selama di Rupat ini orang Akit mempunyai enam orang Batin, yaitu (1) Batin Boja disebut juga dengan Batin Naeng (kuat); (2) Batin Betirpas; (3) Batin Sisik; (4) Batin Monong; (5) Batin Koding; dan (6) Batin Gelimbing yang sekarang berkedudukan di Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara. Sebagai Batin Titi Akar ini sekarang adalah Bapak Sailan.
Peran Batin ini sangat erat kaitannya dengan mempertahankan tradisi dan adat istiadat mereka. Batin berperan dalam siklus kehidupan suku Akit, baik yang terkait dengan kegiatan pertanian, melaut, upacara-upacara adat dan ritual, serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya terkait dengan adat dan tradisi yang sampai saat ini masih mereka pegang dengan teguh. Upacara-upacara seperti buang anca, dan upacara-upacara terkait dengan pertanian masih mereka lakukan. Demikian juga peran bomo (dukun) masih berfungsi baik sebagai orang pintar terkait dengan badekeh dan kegiatan lainnya. Dewasa ini Batin juga telah difungsikan oleh pemerintah sebagai pemimpin formal, yaitu sebagai kepala Desa. Melihat peran Batin yang besar menjaga tradisi dan adat istiadat, maka Batin menjadi penting baik bagi suku Akit sendiri.
”Sebenarnya kami dulu merupakan masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir Sungai Siak. Kami bernaung di bawah Kerajaan Siak Sriindrapura, sampai akhirnya kami diberikan tempat tersendiri yang aman,” kata Sailan, yaitu Batin Akit Titi Akar, yang baru menduduki jabatan adat tersebut menggantikan saudaranya Anyang yang menjadi pemimpin formal, kepala desa. ”Kami adalah suku Asli daerah ini, dan sampai saat ini kami masih terus melaksanakan dan mewarisi adat-istiadat kami,” kata Anyang. Selama tiga hari di Pualau Rupat, akhirnya dari pelabuhan sederhana yang terbuat dari susunan kayu-kayu tersebut kami melangkahkan kaki kembali ke kapal cepat yang membawa mata kami perlahan-lahan meninggalkan Titi Akar.
Jakarta, November 2007.
[1] Hasil wawancara dengan Bpk. Anyang, desa Titi Akar, Juni 2007, juga lihat: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau (1999) Atlas Kebudayaan Melayu Riau, hal. 220-228.
[2] Perawang adalah nama satu daerah di Riau Daratan di Kabupaten Bengkalis.
[3] Sakai adalah juga merupakan salah satu suku bangsa yang masih dapat dikategorikan sebagai komunitas adat yang mendiami sebuah daerah di Riau Daratan.
[2] Perawang adalah nama satu daerah di Riau Daratan di Kabupaten Bengkalis.
[3] Sakai adalah juga merupakan salah satu suku bangsa yang masih dapat dikategorikan sebagai komunitas adat yang mendiami sebuah daerah di Riau Daratan.
Comments