KIBOT KARO DAN KREATIF EKONOMI
Julianus P Limbeng
Dalam kesenian Karo, seorang perkibot dan kibot kiranya telah dapat dikategorikan sebagai bagian pemusik Karo. Ini tidak dapat dipungkiri karena fungsi dan perannya yang begitu vital dalam berbagai kegiatan adat-istiadat, meskipun tokoh folklore semisal Brunvan, atau James Danandjaja mengatakan setidaknya satu budaya dapat dikatakan milik satu etnis, apabila ia telah hadir dua generasi dalam budaya tersebut. Kehadirannya dalam kesenian Karo meskipun relatif masih baru, namun daya pikatnya cukup dahsyat menggempur ruang-ruang yang dulunya diisi oleh kehadiran musik yang biasa dikategorikan genuine dan indigenous.
Dalam kasus ini sebenarnya tampak ke’munafikan’ kita dalam berkesenian. Banyak terdapat hal-hal yang bersifat paradoksal yang dibiarkan mengambang (flotation), yang terkadang dihadirkan dalam kata setuju dan tidak setuju. Namun secara sinkronik dan diakronik, ia telah mampu mendominasi dan hukum dominan kelihatannya sangat kuat berlaku disana. Terlepas dari masalah etika dan nilai yang berbicara seharusnya bukan kenyataannya, alat musik kibot diakui sebagai perangkat instrument musik Karo, meskipun sampai saat ini (sepengetahuan saya) belum ada orang Karo yang dapat membuat alat musik kibot tersebut (bandingkan musik Melayu identik dengan Akordeon). Ini merupakan satu era kreatifitas berkesenian yang mau tak mau ‘memaksa’ karena berbagai faktor. Dalam hal ini tentunya ada tokoh. Meskipun awalnya proses kreatif dilakukan oleh individu, namun karena kehadirannya dapat merepresentasikan berbagai hal dari sebuah komunitas, maka secara emosional ia menjadi bagian atau merasa memiliki kreatif individu tersebut, sehingga ia tidak lagi milik individu, tetapi milik komunitas. Jadilah “Kibot Karo”.
Demikian kibot, kini ia hadir sebagai salah satu ekspresi budaya yang mempunyai karakteristik tersendiri yang hadir dari proses kreatif individu. Ia mampu mampu membuat persepsi dan pemahaman baru bagi masyarakatnya sendiri dan bahkan keluar dari masyarakatnya sendiri. Ia menjadi sebuah ikon yang secara teknologi berasal dari Barat, namun di’cap’ sebagai milik lokal orang Karo. Dengan berbagai faktor kelebihan yang dihadirkan, ia cukup adaptif. Bahkan ia mampu berkontribusi bagi perekonomian dari sebagian orang Karo yang berprofesi sebagai perkibot. Pemain-pemain tumbuh subur di berbagai tempat dimana ada emosional ke-Karoan ada. Tak ayal lagi, di kota-kota besar seperti Jakarta, bahkan konon katanya di Eropa sekalipun emosional ke-Karoan itu muncul, mereka telah menggunakan ‘gendang jepang’ tersebut, dan de facto menjadi bagian kebudayaan Karo.
Ini hanya merupakan salah satu contoh proses kreatif dalam bidang kesenian kita. Sekali lagi terlepas dari masalah nilai-nilai budaya, etika, estetika yang mungkin telah mengalami pergeseran yang tidak hanya masalah cara, tetapi mungkin saja pergeseran pada bagian yang mendalam, yaitu nilai. Ini barangkali salah satu yang menjadi paradoksal, antara proses kreatif dan tradisi budaya kita yang telah terpelihara sebagai warisan nini bulangta. Tapi kreatifitas menjadi hal yang perlu kita pertimbangkan sebagai alternatif ekonomi masyarakat secara luas, yang tidak hanya pada bidang kesenian.
Sebenarnya kalau kita lihat perubahan-perubahan yang terjadi di beberapa Negara misalnya, maka ada perubahan ekonomi yang bisa juga kita bandingkan dengan ekonomi orang Karo. Perubahan itu bisa kita urut mulai dari ekonomi pertanian (agriculture economy), ekonomi industri (industry economy), informatika ekonomi (information economy), dan kreatif ekonomi (creative economy). Sektor ekonomi orang Karo, khususnya di dataran tinggi Karo selama ini jika kita lihat statistic memang sesuai dengan potensi alamnya, yaitu sektor pertanian. Tapi informatika dan kreatif ekonomi juga, menjadi hal yang perlu dipikirkan. Perkembangan Advertising, arsitektur, seni, kerajinan, desain, fesyen, film, musik, seni pertunjukan, perangkat lunak, penerbitan, toys dan games, TV dan radio, video games dan lain sebagainya, merupakan contoh-contoh kreatif ekonomi. Ini menjadi bagian-bagian yang perlu disikapi disamping perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini. Sektor pertanian dan kebudayaan Karo yang begitu luar biasa mau kita apakan. Kita mempunyai arsitektur Karo, rumah adat Karo misalnya. Kita mempunyai banyak hal yang unik-unik, kerajinan (craft), ornamentasi Karo, ose Karo, musik tradisional, mayan atau ndikkar yang mungkin bisa dijadikan toys dan game flash. Turi-turin Karo yang bisa dikemas menjadi kreatif ekonomi dalam berbagai bentuk (buku cerita, film, dan sebagainya). Ini merupakan tantangan sekaligus peluang alternatif jika agriculture economy kurang menunjang lagi pada sektor perekonomian kita.
Saya terinspirasi dari seorang seniman Singapura J.P. Nathan, dalam seminar Art Summit baru lalu mengemukakan bahwa Singapura sebagai Negara kecil kreatif ekonominya menyumbang 3 – 7% bagi negaranya setiap tahun. Ini masalah kepedulian dan kemauan. Bayangkan saja Negara kecil itu mempunyai 16.000 tempat-tempat pertunjukan dengan visi “An Arts Centre for Everyone”. Semua potensi kebudayaan (kesenian) yang ada di Singapura dapat diberdayakan tanpa memandang agama, suku, dan asal-muasal. Mereka selalu buat pertunjukan kesenian dan calendar event. Kesenian Melayu, India, Cina, dan sebagainya semua hidup, dan berdampak pada sektor ekonominya.
Kita bandingkan dengan Negara Indonesia yang lebih lima ratus suku bangsa. Sebagai contoh saja berapa gedung pertunjukan kesenian yang kita miliki? Gedung Kesenian Jakarta saja sisa-sisa peninggalan Belanda. Tempat-tempat pertunjukan seni serius selama ini, misalnya Erasmus Huis, Goethe, de Cultura Italiano, Pusat Kebudayaan Perancis adalah tempat pertunjukan orang asing yang ada di Jakarta. Kita punya mana? Ini mungkin salah satu faktor penghambat kreatifitas. Padahal ia bisa menyumbang secara ekonomi. Contoh kreatif ekonomi negara lain misalnya Inggris (7,9%), Selandia Baru (3,1%), Australia (3,3%), dan Indonesia masih nol koma persen. Kita kelihatannya kurang kreatif, kreatifitas kita yang menonjol masih dalam bidang kreatif bajak mambajak, bukan membajak sawah atau ladang. Tapi menyangkut bajak membajak karya cipta yang merupakan bagian dari kreatif ekonomi tadi.
Bagaimana kondisinya di Karo? Saatnyalah kita perlu melihat kreatif ekonomi. Kita butuh kreatifitas untuk memberdayakan potensi-potensi budaya yang kita miliki. Cobalah lihat program kibot yang merupakan buah dari proses kreatif. Terkesan monoton dan tidak ada lagi pembaharuan-pembaharuan. Proses kreatifnya mandek, dan tidak jalan. Tidak banyak pemain kibot yang bisa membuat program bagi pertunjukannya sendiri. Dia cukup mengcopy ke disket program-program yang sudah ada. Loading data, tinggal main. Demikian juga dari segi teknik, kelihatannya kreatifitas kurang jalan. Pemain kibot kita mayoritas main dengan menggunakan teknik transfose one finger. Cukup tekan satu tuts untuk menghasilkan harmoni akor, dan cukup tekan tombol tertentu untuk mengubah nada dasar. Singkat kata seperti putar CD atau play disket saja. Namun itulah pemain kibot professional dan itu juga merupakan kreatifitas. Susah cari kreatifitas. “Adi nggeluh pe mesera, engkai kin maka main musik pe susah-susah.” Kelihatannya kata-kata ini masih mendalam sekali di lubuk hatinya. Payo kin bage? Itu salah satu kenyataan yang bukan berbicara seharusnya. Bagaimana dengan bidang-bidang lain?
Bekasi, 5 Desember 2007.
Dalam kesenian Karo, seorang perkibot dan kibot kiranya telah dapat dikategorikan sebagai bagian pemusik Karo. Ini tidak dapat dipungkiri karena fungsi dan perannya yang begitu vital dalam berbagai kegiatan adat-istiadat, meskipun tokoh folklore semisal Brunvan, atau James Danandjaja mengatakan setidaknya satu budaya dapat dikatakan milik satu etnis, apabila ia telah hadir dua generasi dalam budaya tersebut. Kehadirannya dalam kesenian Karo meskipun relatif masih baru, namun daya pikatnya cukup dahsyat menggempur ruang-ruang yang dulunya diisi oleh kehadiran musik yang biasa dikategorikan genuine dan indigenous.
Dalam kasus ini sebenarnya tampak ke’munafikan’ kita dalam berkesenian. Banyak terdapat hal-hal yang bersifat paradoksal yang dibiarkan mengambang (flotation), yang terkadang dihadirkan dalam kata setuju dan tidak setuju. Namun secara sinkronik dan diakronik, ia telah mampu mendominasi dan hukum dominan kelihatannya sangat kuat berlaku disana. Terlepas dari masalah etika dan nilai yang berbicara seharusnya bukan kenyataannya, alat musik kibot diakui sebagai perangkat instrument musik Karo, meskipun sampai saat ini (sepengetahuan saya) belum ada orang Karo yang dapat membuat alat musik kibot tersebut (bandingkan musik Melayu identik dengan Akordeon). Ini merupakan satu era kreatifitas berkesenian yang mau tak mau ‘memaksa’ karena berbagai faktor. Dalam hal ini tentunya ada tokoh. Meskipun awalnya proses kreatif dilakukan oleh individu, namun karena kehadirannya dapat merepresentasikan berbagai hal dari sebuah komunitas, maka secara emosional ia menjadi bagian atau merasa memiliki kreatif individu tersebut, sehingga ia tidak lagi milik individu, tetapi milik komunitas. Jadilah “Kibot Karo”.
Demikian kibot, kini ia hadir sebagai salah satu ekspresi budaya yang mempunyai karakteristik tersendiri yang hadir dari proses kreatif individu. Ia mampu mampu membuat persepsi dan pemahaman baru bagi masyarakatnya sendiri dan bahkan keluar dari masyarakatnya sendiri. Ia menjadi sebuah ikon yang secara teknologi berasal dari Barat, namun di’cap’ sebagai milik lokal orang Karo. Dengan berbagai faktor kelebihan yang dihadirkan, ia cukup adaptif. Bahkan ia mampu berkontribusi bagi perekonomian dari sebagian orang Karo yang berprofesi sebagai perkibot. Pemain-pemain tumbuh subur di berbagai tempat dimana ada emosional ke-Karoan ada. Tak ayal lagi, di kota-kota besar seperti Jakarta, bahkan konon katanya di Eropa sekalipun emosional ke-Karoan itu muncul, mereka telah menggunakan ‘gendang jepang’ tersebut, dan de facto menjadi bagian kebudayaan Karo.
Ini hanya merupakan salah satu contoh proses kreatif dalam bidang kesenian kita. Sekali lagi terlepas dari masalah nilai-nilai budaya, etika, estetika yang mungkin telah mengalami pergeseran yang tidak hanya masalah cara, tetapi mungkin saja pergeseran pada bagian yang mendalam, yaitu nilai. Ini barangkali salah satu yang menjadi paradoksal, antara proses kreatif dan tradisi budaya kita yang telah terpelihara sebagai warisan nini bulangta. Tapi kreatifitas menjadi hal yang perlu kita pertimbangkan sebagai alternatif ekonomi masyarakat secara luas, yang tidak hanya pada bidang kesenian.
Sebenarnya kalau kita lihat perubahan-perubahan yang terjadi di beberapa Negara misalnya, maka ada perubahan ekonomi yang bisa juga kita bandingkan dengan ekonomi orang Karo. Perubahan itu bisa kita urut mulai dari ekonomi pertanian (agriculture economy), ekonomi industri (industry economy), informatika ekonomi (information economy), dan kreatif ekonomi (creative economy). Sektor ekonomi orang Karo, khususnya di dataran tinggi Karo selama ini jika kita lihat statistic memang sesuai dengan potensi alamnya, yaitu sektor pertanian. Tapi informatika dan kreatif ekonomi juga, menjadi hal yang perlu dipikirkan. Perkembangan Advertising, arsitektur, seni, kerajinan, desain, fesyen, film, musik, seni pertunjukan, perangkat lunak, penerbitan, toys dan games, TV dan radio, video games dan lain sebagainya, merupakan contoh-contoh kreatif ekonomi. Ini menjadi bagian-bagian yang perlu disikapi disamping perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini. Sektor pertanian dan kebudayaan Karo yang begitu luar biasa mau kita apakan. Kita mempunyai arsitektur Karo, rumah adat Karo misalnya. Kita mempunyai banyak hal yang unik-unik, kerajinan (craft), ornamentasi Karo, ose Karo, musik tradisional, mayan atau ndikkar yang mungkin bisa dijadikan toys dan game flash. Turi-turin Karo yang bisa dikemas menjadi kreatif ekonomi dalam berbagai bentuk (buku cerita, film, dan sebagainya). Ini merupakan tantangan sekaligus peluang alternatif jika agriculture economy kurang menunjang lagi pada sektor perekonomian kita.
Saya terinspirasi dari seorang seniman Singapura J.P. Nathan, dalam seminar Art Summit baru lalu mengemukakan bahwa Singapura sebagai Negara kecil kreatif ekonominya menyumbang 3 – 7% bagi negaranya setiap tahun. Ini masalah kepedulian dan kemauan. Bayangkan saja Negara kecil itu mempunyai 16.000 tempat-tempat pertunjukan dengan visi “An Arts Centre for Everyone”. Semua potensi kebudayaan (kesenian) yang ada di Singapura dapat diberdayakan tanpa memandang agama, suku, dan asal-muasal. Mereka selalu buat pertunjukan kesenian dan calendar event. Kesenian Melayu, India, Cina, dan sebagainya semua hidup, dan berdampak pada sektor ekonominya.
Kita bandingkan dengan Negara Indonesia yang lebih lima ratus suku bangsa. Sebagai contoh saja berapa gedung pertunjukan kesenian yang kita miliki? Gedung Kesenian Jakarta saja sisa-sisa peninggalan Belanda. Tempat-tempat pertunjukan seni serius selama ini, misalnya Erasmus Huis, Goethe, de Cultura Italiano, Pusat Kebudayaan Perancis adalah tempat pertunjukan orang asing yang ada di Jakarta. Kita punya mana? Ini mungkin salah satu faktor penghambat kreatifitas. Padahal ia bisa menyumbang secara ekonomi. Contoh kreatif ekonomi negara lain misalnya Inggris (7,9%), Selandia Baru (3,1%), Australia (3,3%), dan Indonesia masih nol koma persen. Kita kelihatannya kurang kreatif, kreatifitas kita yang menonjol masih dalam bidang kreatif bajak mambajak, bukan membajak sawah atau ladang. Tapi menyangkut bajak membajak karya cipta yang merupakan bagian dari kreatif ekonomi tadi.
Bagaimana kondisinya di Karo? Saatnyalah kita perlu melihat kreatif ekonomi. Kita butuh kreatifitas untuk memberdayakan potensi-potensi budaya yang kita miliki. Cobalah lihat program kibot yang merupakan buah dari proses kreatif. Terkesan monoton dan tidak ada lagi pembaharuan-pembaharuan. Proses kreatifnya mandek, dan tidak jalan. Tidak banyak pemain kibot yang bisa membuat program bagi pertunjukannya sendiri. Dia cukup mengcopy ke disket program-program yang sudah ada. Loading data, tinggal main. Demikian juga dari segi teknik, kelihatannya kreatifitas kurang jalan. Pemain kibot kita mayoritas main dengan menggunakan teknik transfose one finger. Cukup tekan satu tuts untuk menghasilkan harmoni akor, dan cukup tekan tombol tertentu untuk mengubah nada dasar. Singkat kata seperti putar CD atau play disket saja. Namun itulah pemain kibot professional dan itu juga merupakan kreatifitas. Susah cari kreatifitas. “Adi nggeluh pe mesera, engkai kin maka main musik pe susah-susah.” Kelihatannya kata-kata ini masih mendalam sekali di lubuk hatinya. Payo kin bage? Itu salah satu kenyataan yang bukan berbicara seharusnya. Bagaimana dengan bidang-bidang lain?
Bekasi, 5 Desember 2007.
Comments
jujur aja bang limbeng, sebenernya saya juga pemain kibot karo di kalimantan timur ( balipapan,samarinda,Tenggarong ), cuma saya satu2 nya pemain kibot karo di kaltim ini,setiap ada acara perkumpulan suku karo rudang mayang balikpapan, perkumpulan suku karo sada nioga samarinda, perkumpulan suku karo sada perarih Tenggarong, sudah pasti dan nyata saya yang akan mengiringi musik kibot gendang karo di acara tsb,heheheh... sekali lagi salam kenal buat bang Limbeng.
Joy Pinem / balikpapan / kaltim
e-mail : enjoy_1980@yahoo.co.id