MENGGALI POTENSI KULINER KARO
Julianus
P Limbeng
Industri kuliner saat ini
dapat dikatakan tumbuh subur. Hal ini dapat dilihat indikasi pertumbuhan dari
tahun ke tahun, usaha makanan atau restoran terus meningkat, setidaknya empat
tahun terakhir. Data BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah usaha ada 2.916
dengan pertumbuhan yang signifikan dengan rata-rata tenaga kerja 27 persen. Artinya
ada teori kebutuhan Maslow, yang menyatakan pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia (basic need) tidak sepenuhnya
berlaku. Pangan bukan lagi sebagai produk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan
biologis manusia semata, tetapi pangan saat ini juga sudah berhubungan dengan
gaya hidup baru. Pangan berubah menjadi industri kuliner yang tidak hanya
memberikan cita rasa, tetapi juga menjadi kebutuhan aktualisasi diri. Ini dapat
dilihat dari jasa kuliner menyajikan berbagai menu makanan, kemudian
menyediakan ruang untuk bisa berkumpul dengan komunitasnya melalui berbagai jasa
yang turut bersamanya.
Salah satu sub-sektor
ekonomi kreatif yang memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat adalah
kuliner. Dari Laporan Pengutan Data dan Informasi Ekonomi Kreatif berbasis Seni
dan Budaya, sektor kuliner di tahun 2012 mengalami laju pertumbuhan 3,83
persen, dengan jumlah tenaga kerja 3.735.019 orang yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dibanding dengan sektor lainnya seperti pasar barang seni,
kerajinan, film, fotografi, video, musik dan seni pertunjukan, distribusi
tenaga kerja sektor kuliner juga menempati urutan tertinggi, yaitu 53,18
persen, dan selanjutnya diikuti sektor kerajinan. Laju pertumbuhan tenaga kerja
juga cenderung maju, yaitu 0,06 persen. Tahun 2012 jumlah usaha kuliner
tercatat sebanyak 3.031.296, yang menempati usaha ekonomi kreatif yang paling
banyak dibanding usaha kreatif lainnya.
Distribusi usaha kuliner menempati 77,37 persen, jadi sangat besar sekali.
Memang dari sisi ekspor kuliner Indonesia masih 0 persen. Ini artinya potensi
kuliner sebagai salah satu sektor ekonomi kreatif cukup potensial untuk
dikembangkan. Yang menjadi persoalan sekarang kuliner-kuliner daerah yang cukup
beragam itu siapa yang kembangkan ?
Kuliner di Indonesia banyak
sekali ragamnya, mulai dari aneka nasi yang menjadi makanan khas Indonesia,
hingga jenis kue, sayuran dan lauk-pauk dan jenis minuman. Banyaknya ragam
kuliner ini, mengakibatkan sulitnya mendefenisikan mana masakan khas Indonesia.
Untuk memperkenalkan keragaman kuliner tersebut, pemerintah telah menetapkan 30
ikon kuliner tradisional Indonesia. Tentunya tidak semua jenis kuliner yang ada
di Indonesia masuk dalam ikon tersebut. Masih banyak sekali jenis-jenis kuliner
yang luar biasa dan memiliki potensi untuk dikembangkan. Tentunya membutuhkan
sentuhan kreatif dengan landasan memiliki daya saing, nilai tambah dan
kontribusi terhadap ekonomi masyarakat. Tiga hal tersebutlah yang penting harus
ada dalam mengembangkan kuliner yang beragam tersebut disamping keunikannya,
sehingga kehadirannya dapat memberikan aspek ekonomi bagi masyarakat, sekaligus
aspek pelestarian kekayaan dan keragaman kuliner Indonesia.
Berangkat dari persoalan
tersebut, kuliner Indonesia tentunya tidak hanya yang diangkat menjadi ikon
kuliner Indonesia saja, tetapi setiap kuliner daerah memiliki potensi yang sama
untuk dikenal oleh masyarakat, baik nasional maupun internasional. Dibutuhkan
tangan-tangan kreatif atau sentuhan kreatif yang tidak hanya berhubungan dengan
masalah rasa, tetapi kreatifitas untuk membuat brand dan upaya promosi yang kreatif juga. Dibutuhkan ide-ide
cemerlang untuk mengembangkan kuliner. Ide-ide inilah yang erat kaitannya
dengan aspek ekonomi seperti yang dikemukakan tokoh ekonomi kreatif dari
Inggris Jhon Howkins dalam bukunya The
Creative Economy : How man make money from idea.
Dari 30 ikon kuliner yang dipublikasikan
pemerintah, tak satupun kuliner yang berasal dari daerah Karo. Tidak
etnosentris, tetapi lebih memberikan contoh dan sekaligus kuliner daerah yang
kurang tersentuh kreatifitas. Padahal begitu bayak juga kuliner yang sebenarnya
memiliki nilai jual. Kriteria penilaian ikon kuliner itu sendiri ada dua, yaitu bahan baku harus mudah
diperoleh, baik di dalam maupun luar negeri; kemudian kuliner tersebut telah
dikenal oleh masyarakat luas, serta ada pelaku profesional praktisi kuliner
tersebut. Di Tanah Karo ada beragam kuliner yang membutuhkan sentuhan kreatif
disamping kuliner yang sudah terkenal di tingkat lokal seperti BPK. Katakanlah cipera manuk, bohan-bohan, labar-labar,
lemang-lemang, tasak telu, pagit-pagit atau terites,
lomok-lomok, panggang, cingcang bulung gadung, gule berek dan cibet, umbut yang semuanya sangat khas
dan unik dan hingga saat ini masih sangat alami sekali. Selain itu juga terdapat
aneka kue seperti cimpa unung-unung,
lemet, jong labar, cimpa matah, dan sebagainya. Jika minuman khas
Karo
seperti syrup Marquisa telah disentuh tangan kreatif, kiranya
jenis-jenis
makanan tersebut di atas juga butuh tangan-tangan kreatif. Ketika sektor
pertanian di Tanah Karo suatu ketika tidak menjanjikan lagi, sektor
kreatif
kiranya menjadi salah satu bahan pertimbangan dan alternatif. Hal ini
pula yang
dilakukan oleh anak-anak muda Karo di GBKP Pondok Gede untuk
memperkenalkan
keragaman kuliner sekaligus mencoba sentuhan kreativitas anak-anak muda
terhadap budayanya. Kegiatan ini sangat positif memperkenalkan kuliner
Karo kepada anak muda, sekaligus membangun jiwa kreatif dan sekaligus
melestarikan salah satu mata budaya Karo.
Comments