“DJATADU” PEMAIN KULCAPI ITU TELAH TIADA - Obituari :
Djasa Tarigan
Oleh
: Dr. Julianus P Limbeng
Djasa Tarigan menerima 'pangan kehamaten' dari tuan rumah, Ibu C. br Kemit dalam sebuah upacara ritual Dokumen. J. Limbeng, 2009 |
Ketika
merekam upacara Erpangir Ku Lau September 2009 yang lalu di Medan, pemain
kulcapi itu benar-benar menikmati petikan-petikan kulcapi (alat musik petik Karo) yang ia mainkan. Mulai dari cak-cak Simalungen Rayat hingga Silengguri. Untuk menghormati perannya
sebagai Sierjabaten dalam upacara
yang sudah jarang diadakan oleh masyarakat tersebut, tuan rumah sambil menari
membawa makanan khas Karo yang enak berupa nurung,
galuh emas, dan sebagainya. Begitu
serius dan khusuknya ia menggeluti perannya dalam ritual tersebut. Ia
memejamkan matanya seolah tidak peduli siapa saja yang ada hadir disana. Ia
ikut menggerakkan badannya mengikuti ritme gendang
lima sendalanen dan kadang-kadang ia padukan juga dengan ritem kibot, sambil memetik kulcapi. Pada tahap tertentu bahkan ia
kelihatan bagian yang tidak terpisahkan dari upacara ritual erpangir tersebut, hingga ia tidak
mengenakan baju lagi sambil tetap fokus memainkan kulcapi, instrumen spesialisnya, sehingga di kalangan mahasiswa
Etnomusikologi USU tahun 80an hingga 90an ia dikenal dengan “Djatadu”, yaitu
singkatan dari “Djasa Tali Dua” karena alat musik kulcapi memang hanya memiliki dua senar, namun dapat memberikan
melodis dan ritmis sekaligus yang cukup indah. Ya.. Djatadu itu sebutan untuk Djasa
Tarigan.
Djasa
Tarigan, lahir di Kabanjahe, 19 Oktober 1963. Dia merupakan seniman tradisi
Karo senior. Ia juga pernah mengenyam pendidikan sekaligus mengajar musik Karo
di Etnomusikologi USU Medan pada pertengahan tahun 1982. Inilah awal pergaulan
Djasa dengan musik Barat, terutama kibot. Dalam berbagai aktivitas keseniannya
di tengah-tengah masyarakat Karo ia mencoba memasukkan unsur musik barat
tersebut dalam pertunjukan keseniannya dengan memasukkan sekdear unsur-unsur
ritem sederhana seperti Rhumba yang
dipadukan dengan cak-cak gendang Karo,
sehingga ‘memudahkan’ masyarakat memahami tempo dan menari. Pro dan kontra memang terjadi saat itu
di kalangan masyarakat Karo, namun yang jelas instrumen itu kini merupakan
bagian dari Karo, bahkan suku lain pun menyebut segabai Kibot Karo, ensambel yang digagas oleh Djasa Tarigan.
Sejak
kecil ia telah menunjukkan ketertarikannya terhadap musik tradisi, dan dengan
bakat musik yang ada pada dirinya ia belajar kepada beberapa pemusik
tradisional Karo, salah satunya kepada Tukang Ginting (Alm). Ketika di musik
tradisi bisa diseput ia mumpuni, jiwa eksplorasinya itu muncul dan ingin
menghasilkan sesuatu yang baru dalam musik tradisi Karo. “Gendang Kibot Karo”
lah yang melekat dengan dirinya, karena publik tahu bahwa ia lah pelopr dan
pencetus gendang jepang tersebut
hadir dalam ranah musik tradisi Karo, baik dalam hiburan maupun ritual. Upacara
Erpangir Ku Lau lah terakhir kali aku bertemu dia, ketika ia memainkan kulcapinya dengan limam orang pemain
lainnya ditambah ritem kibot yang ia
operasikan sendiri sambil bermain nali
dua tersebut.
Kini sang
Maestro yang telah melanglang buana tidak hanya di Tanah Karo sekitar, tetapi
juga ke manca negara tersebut telah menghembuskan napasnya yang terkahir dan
menghadap Tuhannya padda 17 Juni 2013 yang lalu di usia 50 tahun. Selama
karirnya, ia pernah tampil di Belanda, Amerika Serikat, Perancis, Bosnia,
Philipina dan lain-lain. Ucapan belasungkawa dan dukacita menyebar cepat di
media sosial seperti facebook dan twitter. Usianya memang masih sangat produktif.
Ia tetap konsisten menekuni musik tradisi Karo. Namun Tuhan berkehendak lain. Selamat jalan sahabat... (Julianus Limbeng)
Comments