BUDAYA SPIRITUAL : Kesan Perjalanan ke Myanmar

Julianus P Limbeng

cukup terkenal


            Selama lebih kurang satu setengah jam pesawat Singaporea Airlines (SQ) yang membawa kami dari Jakarta akhirnya mendarat di Bandara Changi, Singapura. Selama lebih kurang transit setengah jam, akhirnya perjalanan pun dilanjutkan dengan pesawat Silk Air dan mendarat di Yangon International Airport. Perjalanan ini merupakan kali pertama ke negara yang dulu dikenal dengan Burma ini. Melihat tampilan bandar udaranya, kesan pertama saya adalah ’sederhana’. Demikian juga setelah melewati  imigrasi dan penjemput dari Kedubes RI membawa kami ke kota Yangon saya terbayang ketika tahun 70-an, ketika saya masih duduk di bangku SD. Angkutan kotanya sangat sederhana. Namun ketika melewati Shwedagon Pagoda, pagoda yang paling besar di Myanmar yang menjulang tinggi berwarna emas, saya langsung takjub dan  terkagum-kagum. Begitu megah dan terkesan cukup mewah yang sangat kontras dengan kehidupan masyarakat yang ada di kota Yangon. Hampir setiap orang membawa rantang, bekal makanan.
Salah satu Pagoda di Nya Pyi Tau
            Di Yangon kami diterima Dubes RI, Sebastianus Sumarsono (kebetulan juga teman seangkatannya di TNI adalah penetua di GBKP Sitelusada). Beliau banyak menceritakan tentang kehidupan dan budaya orang Myanmar. Usai pertemuan resmi di dampingi oleh Fungsi Pensosbud KBRI Yango, Djumara dan seorang staf lokal, Ms. Kinsana, yang  berasal dari suku Myanma. Kinsana lah sebagai penterjemah kami dari bahasa Myanmar ke bahasa Inggris. Ketika saya menuturkan bahwa saya berasal dari Karo, ia sangat antusias menyebutkan bahwa ia juga pernah ke Berastagi dalam rangka peresmian replika Shwedagon Pagoda yang saya kagumi tadi. Ternyata di Myanmar pertama kali saya tahu, bahwa di Tanah Karo telah dibangun replika pagoda tersebut, yaitu di Taman Alam Lumbini, Desa Tongkoh, Kec. Dolat Rayat, Tanah Karo SUMUT yang berdiri sejak tahun 2010 yang lalu.           
Dengan Dubes RI di Yangon
            Dari Yangon kami naik pesawat Myanma Airways menuju ibukota baru negara tersebut Nay Pyi Taw. Kota yang masih sangat sepi. Jalan-jalan dibangun cukup lebar, namun kenderaan yang berlalu-lalang masih sedikit. Rombongan kami yang dipimpin oleh Gendro Nurhadi, Direktur Kepercayaan,  diterima oleh Direktur  Departemen Arkeologi, Museum dan Perpustakaan, Kementerian Kebudayaan Myanmar, U Sein Win, didampingi Direktur Hubungan dan Kerjasama Internasional, Daw Mie Khaing dan beberapa orang staf.  Dalam pertemuan ini kami mendiskusikan tentang pelestarian kebudayaan,  khususnya tentang Komunitas Adat. Setelah pertemuan ini, kami akhirnya berangkat lewat jalur darat menuju Shan State, yaitu Inle Lake, dimana disana masih terdapat suku Inthar di Shan State, dan Suku Shaq. Perjalanan ini sangat seru, karena menyusuri pegunungan dengan jalan yang relatif kurang bagus, dan sisi sebelah kiri terdapat jurang yang sangat dalam. Kadang-kadang meskipun jalan pernah diaspal, banyak jalan yang hanya tinggal tanah, dan bekas tanah longsor. Hari hampir malam, namun Inle Lake belum juga tiba.
Melestarikan tradisi
            Setelah hampir tujuh jam perjalanan, akhirnya tengah malam kami tiba di Inle Lake. Disana kami telah dijemput oleh pihak pemerintah disana, dan kami pun naik perahu panjang lebih kurang 15 menit menuju ke Myanmar Treasure Resort Inle, yaitu hunian bergaya tradisional yang dibangun di atas danau, seperti rumah terapung. Tanpa jaket pelampung dan minus penerangan, selama lima belas menit kami menyusuri danau yang sebagian sudah ditumbuhi eceng gondok. Meminjam istilah Medan, perjalanan hari itu ”ngeri-ngeri sedap”.  Setelah sampai di hotel, hanya satu kata. Tidur.
Festival di Inle Lake
            Bangun pagi, ternyata tempat kami menginap cukup bagus dan indah. Dikelilingi pegunungan dan di kejauhan tampak beberapa pagoda berwarna emas, dan suara para biksu terdengar sayup-sayup membacakan doa-doa. Hotel tempat menginap terapung bergaya tradisional rumah-rumah suku Inthar atau biasa juga disebut suku Shan, yaitu suku yang mendiami di sekitar danau Inle tersebut. Selama satu hari penuh kami  menyusuri kehidupan sekeliling danau untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakatnya serta bagaimana kaitannya dengan kepariwisataan. Mereka hidup sangat sederhana, dan kelihatannya sangat nerimo. Ada hal yang juga membuat saya takjub, yaitu budaya tulus menolong.
Menuju Hotel
            Sungguh suatu keberuntungan juga kehadiran kami disana, menurut staf KBRI sarana komunikasi disana selama ini sangat susah, ternyata ketika kami sampai disana alat komunikasi handphone ternyata bisa digunakan. Dan pada saat itu juga kebetulan kami berkesempatan menyaksikan festival budaya tahunan yaitu Phaung Daw Oo Pagoda Festival atau Festival Pagoda. Seluruh masyarakat disana kelihatannya tumpah ruah ke danau dengan menaiki perahu-perahu kayu, termasuk para biksu pun kelihatan banyak sekali. Salah satu perahu yang paling besar adalah perahu yang dibuat menyerupai burung. Mereka mempertunjukkan budaya masing-masing, mereka menari di atas perahu sambil pawai keliling danau dengan pakaian yang serba cerah dan kesannya meriah. Banyak turis asing yang hadir disana. Hasil-hasil kerajinan mereka banyak dijual di rumah-rumah yang ada di danau tersebut. Juga wanita-wanita menenun dengan ’leher panjang’ seperti di Thailand juga terdapat di sana.
Pertunjukan seni
            Dua hari di Inle, naik pesawat lagi menuju Yangon dari daerah Bagan, dengan Bagan Airlines. Di Yangon kita berkesempatan melihat budaya spiritual yang ada di Shwedagon Pagoda, yaitu pagoda terbesar di Myanmar yang kepercayaan orang Myanmar mulai dibangun 2600 tahun yang lalu itu, dimana menurut mereka di pucuk pagoda tersebut terdapat delapan helai rambut Budha. Cukup ramai setiap saat. Mereka sangat khusyuk berdoa di setiap sudut pagoda. Selain itu yang cukup menarik adalah sebuah tempat makan yang dibangun sekaligus tempat pertunjukan berbagai kesenian yang dimiliki negeri itu. Lumayan mahal, tetapi disana kita bisa melihat busana tradisional, pengantin, aneka jenis kesenian, dan tentunya kulinernya. Setidaknya ada sisi baik  yang bisa kita gali dari perjalanan ini, khususnya untuk pengembangan kebudayaan kita. (JL)
           

Comments

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal : SAHABAT SEJATIKU