Hahoe Tal dan Gundala-Gundala


Oleh : Julianus P Limbeng

Keindahan alam merupakan sebuah anugerah yang patut disyukuri sebagai potensi kepariwisataan di Tanah Karo. Namun di sisi lain, sebenarnya masih ada unsur-unsur lain yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan dalam mengembangkan kepariwisataan disana. Salah satunya adalah kekayaan budaya yang dimiliki oleh Karo itu sendiri.

Bila berkunjung ke suatu daerah, biasanya sudah pasti ada uang lebih untuk membeli buah tangan, oleh-oleh berupa makanan khas atau cenderamata khas daerah tersebut. Cenderamata ini ada yang diperuntukkan pengunjung itu sendiri maupun buat orang lain. Di Tanah Karo memang telah terdapat beberapa cenderamata, seperti aneka ragam uis Karo (yang konon katanya bukan orang Karo lagi yang buat), alat-alat musik tradisional, beberapa jenis pakaian dengan tulisan Berastagi, sendok dan garpu dari kayu dengan tulisan ‘lake toba’ (tanah Karo mana?) dan seterusnya. Saya melihat unsure-unsur budaya Karo itu masih kurang diberdayakan, semisal miniature gendang Karo, ragam hias Karo untuk kaos oblong, kuan-kuan Karo yang bisa saja disablon dan disertakan terjemahan bahasa Indonesianya, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai budaya Karo bagi masyarakat luas. Dan masih banyak lagi tentunya. Ini semua berkaitan dengan kreativitas masyarakat dan sense of bussinesnya. Barangkali karena sector pertanian masih menggembirakan dalam konteks ekonomi masyarakat Karo, sector kreativitas kurang terperhatikan.

Ketika akhir tahun lalu saya berkunjung ke dua daerah wisata di Korea Selatan, Andong Hahoe Village dan Dosan Seowon, ada hal yang menarik bagi saya, bagaimana pemerintah disana (Andong Major) memberdayakan desa adat sekaligus potensi budaya yang ada disana. Unsur budaya mereka sebenarnya tidak terlalu banyak, namun pengemasan mereka cukup baik, sehingga budaya mereka terberdayakan sehingga ada impactnya langsung bagi masyarakat, yaitu jargon yang sering dilontarkan pemerintah kita saat ini dan pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment, yaitu dapat bermanfaat langsung dan dinikmati oleh masyarakat. Topeng Hahoe (Hahoe Mask) atau dalam bahasa Korea disebut Hahoe Tal, adalah satu potensi budaya mereka yang telah berhasil diberdayakan dengan baik. Di sana ada pertunjukan Topeng Hahoe dengan berbagai karakter tersebut setiap tahun. Bahkan pemerintah disana juga mengadakan festival topeng yang bertarap nasional dan internasional dengan membina hubungan dengan berbagai Negara. Termasuk dengan Indonesia. Ketika saya disana, kebetulan ada dosen dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta juga sedang mempelajari pemberdayaan topeng tersebut disana. Topeng Hahoe itu juga telah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda sebagai kekayaan budaya mereka. Upaya perlindungan ini telah terdaftar sebagai National Treasure No.121. Memang beragam topeng bisa kita temukan disana.

Selain festival topeng, Hahoe Tal atau Topeng Hahoe tersebut juga diberdayakan dalam bentuk lain. Topeng Hahoe bahkan menjadi maskot Andong dan di berbagai tempat bisa kita temukan beragam jenis topeng, misalnya di The National Folk Museum of Korea. Topeng Hahoe mereka buat mulai dari pernak-pernak kecil, hingga bentuk dan ukuran aslinya. Miniatur topeng itu misalnya dibuat menjadi gantungan kunci, modifikasi bentuk wajah saja dan dibuat menjadi pajangan yang menarik. Pokoknya butuh kreativitas untuk menghasilkan beragam karya seni yang menarik, mulai dari harga yang relative murah hingga ratusan ribu, jika Won dikonversi ke Rupiah. Saya sangat senang ketika Walikota Andong, Korea  memberikan saya Hahoe Tal, yaitu Yang Ban, meskipun kecil, tapi ada nilai tersendiri bagi saya. Apalagi yang memberikan orang nomor satu di kota itu.

Lantas bagaimana dengan Karo ? Kita juga memiliki topeng Gundala-Gundala dengan dukungan folklore (cerita prosa rakyat) dan kesenian yang masih hidup dan diketahui oleh sebagian masyarakat tentunya. Kita memiliki Manuk Si Gurda Gurdi, Tembut-Tembut Seberaya, Dogal-Dogal, yang semuanya masih erat kaitannya dengan tradisi Karo.  Dari sisi seni pertunnjukannya misalnya bisa diberdayakan dengan membuat festival gundala-gundala atau Festival Topeng Karo. Mungkin Dogal-Dogal yang dulu erat kaitannya dengan kepercayaan tradisi memanggil hujan pada masyarakat Karo akan muncul kembali dengan sentuhan kreativitas. Topeng Gundala-Gundala pun mungkin saja akan muncul dengan bentuk asli dan bentuk kreativitas lain. Semisal apa yang telah kita lakukan pada Indonesian Mask Festival di Cilimus, Cirebon Jawa Barat pada akhir tahun lalu, yang diliput beberapa media. Say abaca malah di LionMag, majalah Lion air, di TV Swasta dan Kompas pun beritanya ada. Selain berkaitan dengan seni pertunjukan, mungkin saja dibuat sebagai pernak-pernik buat cendera mata. Jika ini telah dilakukan, upaya ini bukan hanya berdampak pada pengembangan ekonomi masyarakat, tetapi juga telah melakukan upaya perlindungan terhadap kekayaan budaya Karo itu sendiri. Jika Bupati Karo memberikan cenderamata kepada tamunya berupa miniature rumah adat Karo, topeng gundala-gundala, upaya perlindungan itu sudah dilaksanakan, sekaligus upaya memupuk kebanggaan akan budaya Karo. Dampaknya ? Pasti ada. (Jakarta, 24 Februari 2011).

Comments

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal : SAHABAT SEJATIKU