KEDAI KOPI KARO, Inspirasiku..
Oleh : Julianus P Limbeng
Bagi orang Karo, khususnya kaum laki-laki (dewasa), kedai kopi merupakan sebuah kebutuhan penting. Meskipun di rumah telah disediakan oleh pernanden kopi sejenis atau kopi sejenis seperti di kedai kopi, namun tidak mengurangi niat dan minat siperbapan ke kedai kopi. Menarik. Ada apa gerangan ? Apakah karena kebiasaan itu merupakan warisan dari budaya Karo ? Cobalah lihat ke seluruh perkampungan Karo, baik di tanah Karo sendiri, maupun di berbagai tempat yang didiami orang Karo seperti Seli Serdang, Binjai, Simalungun, Dairi bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa. Ada saja selalu kedai kopi Karo atau kedai kopi orang Karo.
Meskipun di perkotaan telah muncul beragam cafe-cafe internasional, namun kedai kopi Karo, atau setidaknya lapo bagi orang Toba tidak bisa hilang dimanapun mereka berada. Hal ini tidak serta merta mengurangi ke-modernan seseorang meskipun telah tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan dan sebagainya. Bagi orang Karo kedai kopi tidak sekedar tempat menyeruput kopi, kopi susu, teh manis atau sejenisnya. Tetapi telah lama bagi orang Karo kedai kopi sebagai tempat pusat informasi komunitas, baik di kampung maupun di kota. Berbagai hal diulas disana. Baik dari sisi obrolan ringan seperti harga jeruk turun, calon bupati 2010, perkembangan Pansus Century, hingga persoalan-persoalan politik yang menyangkut negara seperti kunjungan Obama ke Indonesia, atau bahkan kehidupan selebritis.
Tidak ada yang tidak mampu dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo. Namun satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekedar ingin melihat pertandingan catur atau cator. Obroraln-obrolah pemain catur ini pun menjadi salah satu daya tarik. Bahkan lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur ini daripada permainan caturnya sendiri. Dimana ada kedai kopi Karo, pasti disana ada papan catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi papan catur. Ruarrrr biasa nake....
“Kai nagihndu ku kedai kopi e?”, ketika saya tanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi di Bekasi. Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekedar menghabiskan waktu, ada yang sekedar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak berkeputusan dan lain sebagainya. Obrolan di warung kopi telah difahami sebagai obrolan santai dan tidak serius. Oleh sebab itu pada saat itulah orang per orang bebas ngomong apa saja tanpa ada yang merasa tersinggung dan tersungging. Karena mereka tahu benar konteksnya dimana.
Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekedar minum. Tetapi komunikasi antar individu tersebutlah yang menjadi faktor utama. Tetapi jangan salah, meskipun di kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan seterusnya, meskipun bukan minumnya yang menjadi faktor ke kedai kopi, tapi emosional kesukuan dan kedaerahan, emosional cita rasa ‘Medan”nya tidak akan pernah terlupakan. Emosional kedaerahan itu muncul dari jenis kopi, bubuk teh, bahkan mi goreng jika ada di jual di kedai kopi tersebut semuanya terkait dengan cita rasa Sumatera Utara. Minum kopi di kedai kopi Bekasi, di Cililitan, di Kebayoran Lama, di Bandung akan sama rasanya dengan minum kopi di Kabanjahe, Delitua, atau di Kuta Jurung Simalem. Dari kedai kopi Karo bisa kita dapatkan berbagai inspirasi. (JL)
Bagi orang Karo, khususnya kaum laki-laki (dewasa), kedai kopi merupakan sebuah kebutuhan penting. Meskipun di rumah telah disediakan oleh pernanden kopi sejenis atau kopi sejenis seperti di kedai kopi, namun tidak mengurangi niat dan minat siperbapan ke kedai kopi. Menarik. Ada apa gerangan ? Apakah karena kebiasaan itu merupakan warisan dari budaya Karo ? Cobalah lihat ke seluruh perkampungan Karo, baik di tanah Karo sendiri, maupun di berbagai tempat yang didiami orang Karo seperti Seli Serdang, Binjai, Simalungun, Dairi bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa. Ada saja selalu kedai kopi Karo atau kedai kopi orang Karo.
Meskipun di perkotaan telah muncul beragam cafe-cafe internasional, namun kedai kopi Karo, atau setidaknya lapo bagi orang Toba tidak bisa hilang dimanapun mereka berada. Hal ini tidak serta merta mengurangi ke-modernan seseorang meskipun telah tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan dan sebagainya. Bagi orang Karo kedai kopi tidak sekedar tempat menyeruput kopi, kopi susu, teh manis atau sejenisnya. Tetapi telah lama bagi orang Karo kedai kopi sebagai tempat pusat informasi komunitas, baik di kampung maupun di kota. Berbagai hal diulas disana. Baik dari sisi obrolan ringan seperti harga jeruk turun, calon bupati 2010, perkembangan Pansus Century, hingga persoalan-persoalan politik yang menyangkut negara seperti kunjungan Obama ke Indonesia, atau bahkan kehidupan selebritis.
Tidak ada yang tidak mampu dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo. Namun satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekedar ingin melihat pertandingan catur atau cator. Obroraln-obrolah pemain catur ini pun menjadi salah satu daya tarik. Bahkan lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur ini daripada permainan caturnya sendiri. Dimana ada kedai kopi Karo, pasti disana ada papan catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi papan catur. Ruarrrr biasa nake....
“Kai nagihndu ku kedai kopi e?”, ketika saya tanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi di Bekasi. Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekedar menghabiskan waktu, ada yang sekedar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak berkeputusan dan lain sebagainya. Obrolan di warung kopi telah difahami sebagai obrolan santai dan tidak serius. Oleh sebab itu pada saat itulah orang per orang bebas ngomong apa saja tanpa ada yang merasa tersinggung dan tersungging. Karena mereka tahu benar konteksnya dimana.
Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekedar minum. Tetapi komunikasi antar individu tersebutlah yang menjadi faktor utama. Tetapi jangan salah, meskipun di kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan seterusnya, meskipun bukan minumnya yang menjadi faktor ke kedai kopi, tapi emosional kesukuan dan kedaerahan, emosional cita rasa ‘Medan”nya tidak akan pernah terlupakan. Emosional kedaerahan itu muncul dari jenis kopi, bubuk teh, bahkan mi goreng jika ada di jual di kedai kopi tersebut semuanya terkait dengan cita rasa Sumatera Utara. Minum kopi di kedai kopi Bekasi, di Cililitan, di Kebayoran Lama, di Bandung akan sama rasanya dengan minum kopi di Kabanjahe, Delitua, atau di Kuta Jurung Simalem. Dari kedai kopi Karo bisa kita dapatkan berbagai inspirasi. (JL)
Comments
kai siturikendu ena...
kedai kopi nari me berkat aku ermusik,,janah je ingan pulung ertukar pikiran...
je ka aku erlajar ertutur janah mplajari kerina tentang sejarah suku karo...
luar bisa kin kedai kopi enda ma...
Ricky N Tarigan