Obituari : STASION TARIGAN

 

STASION TARIGAN : KOMPONIS KEE GBKP

Oleh : Julianus P. Limbeng


Masyarakat Karo, khususnya kaum GBKP pasti akrab dengan lagu-lagu seperti Siberitaken Berita Si Meriah, Suan Kol, Dibata kap Njagaisa, Ola Mbiar, dan sebagainya. Bahkan lagu-lagu tersebut tidak hanya di kalangan GBKP, tetapi sudah seperti milik masyarakat Karo pada umumnya. Tapi tidak banyak yang tau siapa pencipta lagu-lagu tersebut. Adalah Stasion Tarigan  Tarigan (1951- 2002) seorang seniman musik Karo yang bertalenta yang menciptakan lagu tersebut. Stasion Tarigan yang lahir di Sukababo, Tanah Karo 8 Juni 1951 dari pasangan Tambus Tarigan dan Lelong br Sembiring ini, sejak kecil sudah menyukai musik, terutama alat-alat musik tradisional Karo. Saat ia mengenyam pendidikan SDN Munthe tahun 1959 ia telah aktif berkesenian di sekolahnya. Bahkan ketika ia SMP Tahun 1965 di SMP Negeri 8 Padang Bulan Medan, ia pun telah aktif mengisi acara budaya di Medan.  Pada tahun 1968 ketiaka ia menempuh pendidikan SMA Garuda Medan, minatnya terhadap musik semakin  besar. Ia mulai belajar harmoni dan system notasi. Ia juga aktif mempelajari alat-alat musik tradisional Karo seperti surdam, balobat, gendang, dan lain-lain.

Kiprah Stasion Tarigan di bidang musik mulai kelihatan ketika karya-karya mulai ditampilkan dalam bergai kegiatan pemuda gereja (Permata) sekitar tahun 1979. Stasion saat itu aktif di pemuda gereja dan menjadi ketua Permata Betlehem GBKP di GBKP KM 7 Padang Bulan Medan.  Ia aktif melatih vocal group, paduan suara dan mulai mengaransemen beberapa lagu. Ia juga bisa melatih tari tradisional Karo seperti tari Lima Serangkai, Roti Manis dan lain-lain. Mereka juga aktif mengikuti berbagai lomba seni di kalangan gereja. Bahkan mereka pernah menjuarai lomba Festival Tari Permata se-GBKP.

Jika selama ini ia banyak mengaransemen lagu-lagu dari karya orang lain, maka pada tahun 1983 ia mulai menciptakan lagu. Salah satu yang ia ciptakan adalah lagu Suan Kol, yaitu salah satu lagu yang cukup terkenal di kalangan gereja, yang akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan masuk sebagai salah satu lagu di Kidung Jemaat terbitan Yayasan Musik Gereja. Ketika ada penambahan nyanyian dalam GBKP, yang saat itu disebut sebagai Penambahen Ende-Enden GBKP, maka lagu tersebut juga merupakan salah satu lagu yang masuk dalam Buku Nyanyian GBKP beserta puluhan lagu yang ia ciptakan. Lagu-lagu yang ia ciptakan cukup mengena di kalangan masyrakat karo, karena diadaptasi dari tangga nada Karo (Karo scale), yang menurut Stasion Tarigan setidaknya ada 8 jenis, jika dilihat dari teknik permainan alat-alat musik Karo pembawa melodi, seperti sarune, kulcapi, surdam, balobat. Skala Karo tersebut tentunya berdasarkan pengalaman dia sebagai seorang seniman musik yang akrab dengan semua instrument tersebut.

Keahliannya memainkan alat musik Karo juga mendapat perhatian dari industry musik kala itu. Setidaknya beberapa lagu Karo popular dimainkan melalui instrument surdam dan diproduksi oleh Gesit Record Medan pada tahun 1980-an. Rekaman tersebut pun dijadikan menjadi salah satu bahan analisis musik Karo bagi para mahasiswa etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan, dimana ia juga sempat menjadi dosen luar biasa (pengajar musik tradisional Karo) di awal berdirinya Etnomusikologi USU, Tahun 1979. Stasion Tarigan juga pernah tercatat sebagai mahasiswa di FMIPA USU Tahuyn 1972. Namun ia lebih tertarik ke bidang musik.

Tidak hanya lagu Rohani Batak karo, Stasion Tarigan juga memiliki catatan aktif di dalam industry musik Karo. Tahun 1979 ia ikut bergabung dengan Rudang Band di Berastagi. Saat itu ia juga menciptakan beberapa lagu Karo yang cukup popular pada jamannya seperti Ngelajang Bana, Tading Risona, Labo Ateku Sirang, Mela nge Bagena, dan lain-lain. Tahun 1980 ia juga bergabung dengan Rudang Vokal Group sebagai pemain musik tradisional Karo. Ia bergabung bersama dengan Alasen Barus, Syamsir Tarigan, Ramona Purba, dan lain-lain. Mereka aktif menciptakan lagu-lagu baru dan mengaransemen lagu-lagu Karo dalam bentuk vocal group. Mereka juga beberapa kali tampil di TVRI. Vokal Group ini juga pernah mengeluarkan album yang sangat popular bersama artis nasional sat itu Melky Goeslaw (1947-2006). Salah satu lagu yang dibawakan Melky adalah “Ngelajang bana” ciptaan Stasion Tarigan. Terakhir lagu ini direkam di Kesaint Blanc  tahun 2001 yang dibawakan oleh Stasion Tarigan, Jhon Keke dan Haris Tenny Singarimbun, dalam album “La Terbajak” bersama dengan seniman-seniman Karo Jakarta seperti Advent Bangun, Tio Fanta Pinem, Ramona Purba dan Julianus Limbeng, Malvin Pinem, Ramli Barus, yang diproduseri oleh Heri Ketaren dibawah bendera Kesain Blac, pimpinan Antonius Bangun.

Karya-karya Stasion Tarigan sampai saat ini masih bergema dalam ibadah gereja. Pada bulan September 2019 yang lalu, Moderamen GBKP mengganjar ida sebagai salah satu komponis KEE GBKP di Retreat Centre GBKP Sukamakmur. Salah satu putranya yang meneruskan bidang musik Jhon Kinata Tarigan, dengan mata berkaca-kaca menerima plakat dan piagam penghargaan sekaligus malam anugerah seni yang dihadiri tamu dari luar negeri. Suami dari Siti Suherni br Sembiring (alm) tersebut kini meninggalkan sebuah karya yang masih berguna bagi iman jemaat lewat nyanyian. Stasion Tarigan berhasil mencatatkan 45 buah lagu dalam 500 judul KEE GBKP. Ia juga salah satu warga Karo yang lagu ciptaannya ada dalam Kidung Jemaat.

Tahun-tahun 1990-an juga ia aktif merekam beberapa lagu rohani dalam Label Haga Record bersama dengan Davin Kaban dan Robinson Kembaren. Ia tak pernah berhenti berkarya khususnya dalam lagu-lagu rohani. Stasion Tarigan menikah pada tahun 1988, dan telah dikaruniai 3 orang anak, Jemis Terkelin Tarigan / Mia Anggreini br Kaban, Jhon Kinata Putra Tarigan, dan Mis Hagaina br Tarigan. Ia juga telah memiliki seorang cucu, Nadine Audrania br Tarigan. Pada tahun 2001, ketika usai menyelesaikan Album “La Terbajak” di Jakarta sekaligus pertunjukan di Hotel Indonesia, ia divonis terkena penyakit kanker usus. Tidak lama setelah itu ia menghembuskan napas terakhirnya pada 2 Desember 2002. Album La Terbajak, sebagai tanggung jawab seniman Karo untuk melawan pembajakan karya cipta yang marak saat itu, akhirnya didedikasikan sebagai penghormatan untuk Sang Komponis Kitab Ende-Enden GBKP, Stasion Tarigan. Semoga Karya-karyanya abadi sepanjang masa. (JL).

Comments

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal