Artikel Budaya Karo ; MELIHAT KEMBALI JUDI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT KARO

 

MELIHAT KEMBALI JUDI

DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT KARO

 

Dr. Julianus P. Limbeng

 Ada yang cukup menarik perhatian saya, ketika isu judi di Karo saat ini menjadi bahan perbincangan yang serius, karena menimbulkan dampak yang serius juga bagi masyarakat. Saya berpikir kinata berita si meriah man Kalak karo, uga maka mbue denga judi ? La nge erbuah benih si suan ndube maka melala denga lalap judi ? Itu juga mungkin yang menjadi keprihatinan kita bersama. Namun ketika diangkat menjadi isu baru kita sadar bahwa itu masalah serius. Isu inilah yang diangkat seorang tokoh Nasional dari Karo  yang peduli akan kemajuan Karo, dengan memulai gerakan memberantas judi dan narkoba melalui media sosial  dengan tagar #rambas kerina. Banyak kalangan yang pesimis apakah pemberantasan judi bisa dilakukan melalui media sosial. Namun kekuatan media sosial tidak bisa terbantahkan lagi, ia memiliki peranan yang sangat strategis.

Adalah sorang tokoh Karo, dengan tagar #rambaskerina mengkampanyekan pemberantasan judi dan narkoba dengan memposting aktivitas judi dan narkoba di Karo lewat media sosial dengan mencuitkan postingannya ke aparat. Ia tidak hanya memposting tapi terus memantau tindak lanjutnya dan sekaligus membuka nomor layanan untuk pengaduan jika ada aktivitas judi yang ada di Karo. Ia sungguh-sungguh melakukannya tanpa ada muatan ‘ekor’nya.  Meskipun saya tidak lerlibat langsung di lapangan, namun saya intensif mengikuti perkembangannya lewat media sosial juga, termasuk jenis judinya, yaitu ‘ikan-ikan’ dan judi online (daring). Tidak hanya itu, narkoba juga beredar banyak di masyarakat. Info yang dishare lewat media sosial (FB dan WAG) tersebut ternyata banyak yang sudah ditindaklanjuti. Terjadi penurunan aktivitas judi dalam waktu singkat. Kita berharap terus berkurang dan hilang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari ketokohan dari orang yang memosting tentang judi tersebut ke media sosial. Kita berharap agar semua pihak bisa mendukung gerakan ‘rambas kerina’ untuk memerangi penyakit masyarakat tersebut, agar ke depan masyarakat Karo terhindar dari judi dan narkoba. Disadari memang judi ini sangat sulit diberantas. Namun bukan tidak bisa meskipun sulit. Mengapa sulit? Apakah ini ada kaitannya dengan sosio kultural kita ? Oleh sebab itu saya ingin menceritakan tiga hal yaitu pengalaman masa kecil saya, sekaligus melihat literatur yang ada maupun folklore atau cerita-cerita rakyat Karo yang menceritakan tentang judi.

Ketika masa anak-anak saya dulu, aktivitas judi ini sebenarnya sudah terlihat akrab dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak selamanya taruhan dalam bentuk uang. Permainan tradisional anak-anak tidak akan seru apabila tidak dikaitkan dengan taruhan, misalnya main benter-benter kembiri. Beberapa buah kemiri akan ditaruh dalam para-para dan membutuhkan keahlian untuk melempar dari jarak tertentu. Bagi yang pandai melempar akan mendapatkan kemiri dari teman-temannya dan ia menang. Taruhannya buah kemiri. Kemiri ini kemudian dijual ke pengepul. Uang. Beberapa permainan memang sudah ada kaitan dengan taruhan, tidak semuanya. Permainan Arlep 25, panjang galah, cengkah-cengkah, pedem-pedem, patuk lele, lomba erkeneng, erlangi, turjang dan lain-lain memang belum masuk tahap taruhan. Namun ada beberapa permainan yang sudah biasa dibuat taruhan.

Permainan seperti kelereng (guli atau gundu), laga perkis, karet gelang, main kartu-kartu, bahkan kartu remi (dogol) sudah dikenal dan dimainkan sejak anak-anak dengan taruhan mainan anak-anak atau kadang uang recehan. Bungkus rokok saja yang di dalamnya biasa ada angka-angka bisa dibuat menjadi bahan taruhan. Yang terus menerus hidup sampai sekarang adalah main bola voli (volley ball) dengan taruhan uang. Pertandingannya tidak harus 6 orang melawan  6 orang, tetapi relatif, melihat keseimbangan kepandaian. Bisa saja satu lawan satu.. hahaha.. Oktober 2019 lalu ketika saya ke kampung tradisi itu masih hidup sampai sekarang. Siapa pun yang menang, wasit akan potong sekian persen sebagai upahnya.

Kaum dewasa juga demikian. Kegiatan judi gampang kita temukan di warung kopi, bahkan membuat perpulungen teruh kopi, ya.. main judi. Demikian juga bila ada pesta tahunan dan kegembiraan lainnya. Dulu di kampung saya ada namanya Rebu-rebu, tapi kini hilang, namun di daerah sekitarnya masih hidup. Kegiatan itu biasanya pasti ada judinya. Judi Dadu Kopyok katanya. Bukan hanya warga setempat, namun dari daerah lain juga turut hadir bermain. Catur di warung juga biasa sekali dibuat taruhan, merskipun kecil, misalnya nggalari teh atau isap saja. Sepertinya biar main dan mikirnya lebih serius kalau ada taruhan. Hal biasa ditemukan di warung-warung kopi. Mungkin saja warung-warung kopi kita dimana saja. Pasti ada papan catur disana. Positif. Tapi kalau catur sudah ajang judi, ini negatif. Melihat kesinambungan aktivitas tersebut, mungkin bisa jadi aktivitas ini merupakan bagian dari tradisi yang hidup dari dulu sampai sekarang. Jika kita kaitkan dengan tradisi, mungkin kita bisa melihat kembali aktivitas ini dalam sosio kultural nini-nininta pada jaman dahulu. 

Berbicara tentang judi, sejarah juga menunjukkan bahwa kegiatan ini sudah ada sejak jaman Romawi Kuno, terutama dadu. Kegiatan tersebut merupakan baigan  dari aktivitas kerajaan. Demikian juga judi kartu tercatat masuk ke Eropa sekitar abad ke-14 yang dibawa pelancong dari Tiongkok. Bahkan pada abad ke-15, Ratu Elizabeth  I telah memperkenalkan lotre untuk membantu pendapatan negara untuk membangun pelabuhan-pelauhan. Bahkan konon katanya Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pun pernah  melegalkan judi dengan landasan legal hukum Pasal 14, huruf g  Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 yang memungkinkan pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian. Namun sisi negatif dari judi juga telah banyak contoh yang melahirkan masalah dan penderitaan bagi masyarakat. Terlepas dari sejarahnya ada plus minus, yang mungkin banyak hal yang bisa dibicarakan Namun dari sisi agama, judi itu dilarang dan diyakini akan memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat. Judi patut kita berantas bersama.


Di Karo, kita tidak tau persisnya kapan judi ada. Namun judi sudah sering disebut dalam beberapa cerita prosa rakyat Karo. Ada seorang akademisi Karo mengemukakan bahwa potensi kalak Karo itu adalah sektor pertanian, sektor transportasi dan ombang-ombang. Tidak jelas maksudnya ombang-ombang ini apa, tapi yang pasti maknanya sebenarnya positif yang berkaitan dengan logika. Orang Karo pemikir. Ombang-ombang itu saya terjemahkan terkait dengan kegiatan asah otak, misalnya catur Karo dan permainan tradisional lainnya yang membutuhkan tingkat kecerdasan berpikir terkait epistema. Oleh sebab itu hal seperti kuning-kuningen (teka-teki), untuk memecahkan masalah pun banyak kita temukan. Namun perkembangan term tersebut bisa saja berkaitan dengan arti negatif, perombang-ombang. Kemampuan itu dihubungkan dengan tidak saja memenangkan dari sisi pengetahuan dan keahlian, tapi imbalan sebab akibatnya, berupa barang  bila  atau mungkin saja uang. Dalam cerita rakyat imbalan keahlian itu tidak hanya  dalam bentuk barang, tetapi juga manusia sebagai bentuk penghargaan. Apakah ada ? Mungkin cerita Pawang Ternalem satu contoh.

Turi-turin Pawang Ternalem misalnya, Pengulu Jenggi Kumawar membuat sayembara bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang mampu memanjat kayu besar Tualang Simande Angin dan mendapatkan madu untuk obat putrinya yang sakit, maka ia berhak memiliki putri cantiknya Beru Patimar, seorang gadis yang cantik jelita. Banyak para lelaki menjadi korban karena tidak punya kemampuan memanjat pohon tersebut. Namun ada seorang pemuda yang lampas melumang (yatim piatu) yang memiliki kemampuan karena memiliki ilmu dari orang tua asuhnya Datuk Rubia Gande. Dialah yang memiliki kemampuan dengan ilmu angin sikaba-kabanya dan memenangkan sayembara. Singkat cerita ia lah yang memiliki Beru Patimar. Namun ada korban yang tidak memiliki kemampuan namun mau mencoba dengan resiko besar, kematian. Satu sisi semangat kompetisi  dan jiwa berani mencoba bernilai positif, namun jiga menggantungkan pada faktor keberuntungan saja, disitulah unsur ‘judi’nya muncul. Kegiatan yang memiliki resiko besar namun bisa menghasilkan atau keuntungan besar pun kadang disebut dengan istilah erjudi atau erpasang. Jiwa erpasang ini begitu besar.

Demikian juga dari berbagai literatur dan folklore yang hidup dalam tradisi budaya Karo, judi merupakan satu hal yang sering sekali disinggung. Cerita tentang judi ini dari beberapa cerita rakyat yang pernah saya baca bahkan saya tulis, judi memang erat kaitannya dengan kehidupan sosial orang Karo, khususnya kaum lelaki. Salah satu literatur yang menyebut judi adalah cataan harian seorang Eropah, J. H. Neumann yang tinggal di sekitar Karo Dusun (ia menyebutnya natuurvolk atau bangsa alam).  Ia mulai menulis catatan tersebut pada tanggal 28 Februari 1918, yang kemudian diberi judul Een Jaar Onder de Karo-Bataks, (Setahun ditengah-tengah orang Batak Karo, terjemahan bebas Kasim Brahmana). Dari nama-nama kampung yang disebut disana (Namo Sarap, Batu Ganjang, Sugun, Lau Bengen, dll), daerah dalam catatan harian Neumann ini adalah kemungkinan Deli Serdang sekarang. Bahwa kegiatan judi merupakan salah satu aktivitas laki-laki yang ia temukan masa itu.  Catatan harian Neumann ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang senegerinya. Dia ingin memperlihatkan kepada mereka, untuk memahami masyarakat Karo secara komprihensif, sekaligus meyakinkan mereka perlu tidaknya zending untuk mendidiknya.

Ketika setahun pertama tinggal di tengah-tengah Masyarakat Karo, dimana ia ingin belajar Bahasa Karo dan menetap di sebuah desa yang diperkirakan berada di Deli Serdang, ia menceritakan sosial masyarakat Karo saat itu dengan kacamata outsider yang mungkin saja penilaiannya sangat subyektif. Namun ia menceritakan kehidupan sosial seorang lelaki yang bernama Pa Gori, seorang pengulu. Dari penuturan Neumann, Pa Gori merupakan salah satu contoh perbapan Karo yang benar-benar tidak terlepas dari judi. Ia bahkan meninggalkan anak istrinya berbulan-bulan. Meskipun kembali biasanya akan berhubungan dengan asam erjudi. Bahkan ia ingin menikah lagi dengan seorang gadis yang untuk pesta dan tukurnya akan minjam juga. Namun demikian perilaku suaminya, namun istrinya Nd. Gori selalu menutupi dan tetap setia dengan suaminya. Hal ini bisa kita lihat dari cuplikan catatan harian Neumann yang ditemani seorang lokal bernama Genep.

“....Walau sedikit sesat aku bersama si Genep sampai juga di gubuk Pa Gori, kau masih kenal dia, kan? Wali kota (Pengulu) kami. Dia sendiri tak berada di situ, yang ada isterinya, muda, bersama ketiga anaknya.

  "Silahkan duduk, tuan," katanya ramah dan segera menggelar tikar untukku di tempat duduk yang yang ditinggikan. Aku duduk, si Genep duduk diatas papan yang terletak di situ. Nande Gori duduk dekat api, nasi sedang mendidih.

  "Pa Gori tidak ada di sini, ya?" tanyaku, sebab sudah cukup lama tak kulihat.

  "Oh, dia, sudah lama pergi dari satu kampung ke kampung yang lain." jawabnya.

  "Apa kerjanya di sana, berdagang?"

  "Berdagang?" Senyum pahit muncul dari wajahnya yang halus. "Main dadu, hanya main dadu. Semua habis, uang, perhiasanku lenyap, kalung anakku melayang, sekarang padipun akan dijual. Babi yang baru dipelihara dijual tiga puluh gulden juga lenyap. Tahun ini kami akan mati kelaparan. Nanti dia akan ditangkap polisi dan mungkin akan dipecat. Orang-orang akan mentertawakan kami pula." Tiba-tiba ia berhenti, suaranya tadi makin lantang, makin lantang tak sesuai dengan wajah cantiknya. Matanya hitam di bawah bulu matanya yang panjang berapi-api; dia terlanjur mengeluarkan isi hatinya; dia merasa malu...”

  “..Aku menunduk malu. Dia telah mecurahkan penderitaannya padaku, seorang asing dan aku tidak tahu memberi jawaban. Walaupun begitu rasa dukanya menyentuh hatiku dalam-dalam, dan aku sudah sedikit menyadari, bahwa dalam masyarakat seperti ini juga ada penderitaan batin. Dan seolah minta maaf dilanjutkannya: "Dan siapa nanti yang akan menebang pohon-pohon itu? Aku tak sanggup, itu pekerjaan laki-laki. Lagi pula aku masih punya anak kecil-kecil ini,  seorang terus-terusan sakit, membikin aku tak bisa bekerja; dia selalu mau bersamaku." Air mata bercucuran, dia mengangkat si kecil itu ke pangkuannya...” Itulah sekilas gambaran judi yang ditulis Neumann saat itu, dan menggambarkan bagaimana penderitaan istri Pa Gori.

 

7 Mei 1918 :   “.... Pa Gori datang kembali di rumah. Juga Genep. Sekarang aku tidak usah lagi masak sendiri. Kudengar dari dia bahwa Pa Gori telah menjudikan habis lebih dari tiga ratus gulden. Dia telah meminjam uang dari kiri kanan, hutangnya bertumpuk...”.

23 Mei 1918 “...Kadang kami main catur, satu papan. Di lantai jambur terukir papan catur; buah caturnya dibuat dari tangkai dari daun bentuk sendok besar (een groot soort lepelblad), atau dari kayu, seperti pernah kulihat disuatu tempat lain. Hitam bisa dilihat dari sedikit warna merah dari  air ludah sirih  dioleskan pada buah catur. Kau harus membiasakan diri main dengan buah catur ini, juga dengan papannya, diagonalnya yang digarisi, beda hitam dan putih tak ada, mula-mula sangat menyulitkan....

  Bahkan pada masa itupun main catur tidak murni asah otak, namun Neumann melihat bahwa main catur juga sudah dibubuhi taruhan. “...Masalah prinsip bagiku, aku tidak main untuk uang. Tapi orang-orang kita ini main catur berjudi, mereka harus mendapat uang dari situ. Kadang ini menyangkut uang beberapa sen, tapi kadang juga menyangkut banyak gulden. Ada juga pemain profesional, pergi dari satu kampung ke kampung lain, itu sebagai mata pencahariannya. Pemain seperti ini kadang memberi keunggulan besar pada lawannya, dengan cara dia main dengan buah catur yang dikurangi,  taruhan disesuaikan dengan itu...

Pada tanggal 28 Mei 1918, Neumann menceritakan ia melihat seorang anak-anak dihukum dipukuli dengan lidi enau dengan tangan diikat di tiang. Setelah ditanya, ternyata anak tersebut mencuri uang neneknya 5 keping di kampil. Ketika di tanyakan Neumann ke seorang penduduk bernama Pa Serpi, ia bercerita kepada Neumann, bahwa hukuman untuk anak-anak harus dilakukan supaya mereka takut. Karena anak-anak juga sering mencuri dan uangnya dihabiskan untuk berjudi. Pa Serpi menceritakan bahwa anaknya pernah mencuri untuk berjudi, dan menghukum anaknya dengan melobangi telinganya, dan menghukumnya dengan mengikat ke tiang rumah selama dua hari. Hal ini merupakan satu contoh saja bagaimana aktivitas judi sudah ada sejak dahulu. Sebenarnya, ketika membaca catatan Neumann, terus terang pikiran saya campur aduk, kadang lucu, kadang sedih, dan memberikan gambaran masyarakat masa itu.

Lebih tua lagi untuk melihat judi, kita bisa melihatnya lewat folklore. Ada beberapa folklore (cerita rakyat) Karo yang didalamnya menyinggung tentang judi. Sebagai contoh misalnya dalam Turi-turin Beru Ginting Sope Mbelin yang ditulis oleh Prof. H. G. Tarigan. Cerita rakyat yang terjadi di daerah Urung Galuh Simale ini menceritakan ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.  Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil. Demikian dan seterusnya... dan dalam ceritanya ini bisa kita dalami yang terntunya berkaitan dengan hal-hal yang kurang baik.

Folklore lain yang pernah saya teliti sekaligus pernah saya tulis adalah cerita tentang Perpola atau asal usul pola (enau atau nira) pada tahun 1994 yang lalu. Pohon Enau (Batang Pola) menurut legenda Karo adalah penjelmaan dari seorang wanita cantik yang bernama Beru Sibou, yang menemukan saudara laki-lakinya terpasung (ibayangken) di sebuah desa, karena terlilit banyak hutang akibat kalah bermain judi dadu. Untuk membayar hutangnya maka ia pergi ke sebuah hutan lebat (limbur raya) dan bersumpah disana seraya menghempaskan badannya ke tanah dan jadilah (tumbuh) pohon enau. Dari pohon enaulah kemudian ia bisa membayar hutang turangnya, karena seluruh pohon enau berguna bagi manusia. Oleh sebab itu dalam tradisi erpola, biasanya untuk mendapatkan air nira yang banyak biasa ada nyanyian beru sibou, yang dinyanyikan oleh perpola. Pola merupakaan jelmaan dari seorang perempuan. Kisah ini sudah lama sekali ada pada orang karo. Ternyata dalam tulisan Neumann (1918), cerita rakyat ini juga disampaikan oleh penduduk lokal bernama Pa Lewet kepada dia.

Cerita rakyat yang lain misalnya adalah cerita tentang Beru Ginting Pase.  “...Dahulu kala tersebutlah sebuah cerita yang bernama Si Beru Ginting Pase anak marga Ginting Pase. Ayahnya dua bersaudara, keduanya laki-laki. Ayahnya raja besar di negeri Urung Gadung Simole. Dialah yang mendirikan negeri itu. Ketika Beru Ginting Pase lahir kepadanya diberi nama Si Mberu Medanak yang berarti si kecil mungil. Ayahnya di samping sebagai raja juga penjudi besar. Maka di dirikannyalah di negerinya itu tempat perjudian kemudian di undangnyalah penjudi ulung ke seluruh Tanah Karo bahkan sampai negeri Toba di Simalungun. Ramailah perjudian di negeri Urung Gadung Simole. Raja Urung Gadung Simole menang terus-menerus...”.

Ini hanya beberapa contoh dari folklore yang ada saja yang bisa kita tulis. Saya yakin di cerita rakyat yang lain pasti ada yang menceritakan judi juga. Yang melakukan judi dan menciptakan judi biasanya adalah bukan rakyat biasa, tetapi dalam folklore kita lihat adalah orang besar. Dalam cerita Neumann juga Pa Gori adalah Pengulu. Ini bisa merupakan simbol yang bisa berjudi adalah bukan orang biasa. Kita senang menjadi orang yang tidak biasa. Oleh sebab itu tradisi judi ini terkait dengan kebutuhan aktualiasi diri. Manusia butuh aktualisasi diri ketika kebutuhan-kebutuahn dasarnya terpenuhi. Atau paling tidak ia menempatkan dirinya sebagai bukan orang biasa. Orang yang mampu menghabiskan uang. Faktor aktualisasi inilah yang menurut saya lebih melanggengkan judi dalam tradisi kita dan hidup sampai sekarang. Hal tersebut dapat kita lihat dari folklore tadi. Folklore atau cerita rakyat biasanya anonim dan memiliki varian karena disampaikan lewat oral, namun biasanya cerita itu dipercaya ada dan benar terjadi. Dan ia bisa memberikan pengetahuan.

Cerita-cerita rakyat di etnis lain tentang judi pun pasti ada. Sebenarnya, judi itu berkaitan dengan mental manusianya. Selengkap apapun perangkat hukumnya, judi akan tetap ada jika manusianya masih mau bermain-main dengan judi. Apapun di kehidupan sehari-hari bisa saja dikaitkan dengan judi dan mungkin saja tidak terpantau hukum. Dia bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja ketika obyek apa sajapun bisa dijadikan sebagai obyek judi. Tontonan olah raga (bola, tinju, dll) di televisi bisa dijadikan sarana judi (taruhan). Warna baju yang dikenakan seseorang bisa dijadikan judi.  Jumlah bulir padi satu tangkai pun bisa dijadikan judi. Jumlah gigi tertinggal seorang lansia pun bisa dijadikan judi. Intinya apapun bisa dijadikan sebagai obyek judi atau taruhan. Kembali kepada judi di Karo, saya sangat mendukung upaya-upaya  yang dilakukan oleh tokoh Karo tersebut demi kemajuan masyarakat. Namun untuk memerangi judi tidak bisa hanya dilakukan sendiri saja. Harus ada keinginan yang kuat dari semua pihak. Baik aparat hukum dan pemerintah, maupun masyarakat dan tokoh-tokoh agama. Judi yang sudah lama hidup dan merong-rong ­nini-nininta tidak perlu kita warisi dan lestarikan. Biarlah nilai-nilai positifnya seperti semangat juang yang tinggi, keberanian untuk hal-hal yang positif saja kita tumbuh kembangkan. Ayo kita #rambas kerina sampai judi dan narkoba rabas dari Taneh Karo Simalem. (JL)

 

Permata Hotel – Bogor, 19 November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal