HIBUALAMO : Oleh-oleh dari Halmahera Utara


Julianus P Limbeng

Ada hal menarik ketika berkunjung selama empat hari ke Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara (17 – 20 April 2011). Meskipun perjalanan dari Jakarta menuju tempat ini cukup melelahkan, namun ketika berada di daerah ini kepenatan seakan terbalaskan dengan menikmati budaya dan kulinernya. Dari Jakarta saya berangkat pukul 05.40 pagi naik GA600 menuju Sam Ratulangie Manado dengan waktu tempuh dua jam tujuh menit. Transit selama empat puluh lima menit, kemudian dilanjutkan menuju Bandara Sultan Babullah di Ternate dengan waktu empat puluh lima menit. Dari Ternate menyeberang ke Pulau Halmahera dengan menaiki speedboat selama empat puluh lima menit, persis mengitari sisi kiri pulau Maitara dan Tidore. Pulau ini persis dilihat seperti gambar di uang pecahan seribu rupiah. Untuk mencapai Tobelo, masih membutuhkan empat hingga lima jam perjalanan darat dari Sofifi. Cukup melelahkan jika fisik kurang fit, tetapi banyak hal menarik yang dapat kita lihat sepanjang perjalanan.
Tahun 1999 hingga 2001 ketika negeri Hibualamo ini didera konflik SARA, masyarakat saling curiga-mencurigai, saling bunuh membunuh, saling bakar-membakar, saling hina-menghina yang menyebabkan rusaknya hubungan dan tatanan sosial masyarakat disana. Tetapi ketika adanya rekonsiliasi damai yang diprakarsai oleh para tokoh agama, tokoh adat dan elemen masyarakat di rumah adat Tobelo yang dikenal dengan Hibualamo, lambat laun namun pasti, masyarakat Tobelo bangkit dari keterpurukan. Di Hibualamo masyarakat meletakkan senjata rakitan, senjata tradisional dan menyatakan rekonsiliasi damai. Di Hibualamo masyarakat dapat melakukan  musyawarah adat dan membicarakan berbagai hal untuk kemajuan bersama. Adat dapat mempersatukan berbagai perbedaan. Kondisi sepuluh tahun yang lalu itu kini sangat jauh berubah. Tobelo kini menjadi negeri yang aman, damai, serta toleran. Salah satu factor adalah berfungsinya kembali nilai-nilai budayanya, Hibualamo.
Hibualamo, rumah adat mereka memiliki peran karena nilai-nilainya direvitalisasi kembali sebagai tempat bermusyawarah warga masyarakat. Nilai-nilai itu sendiri tidak otomatis berfungsi jika tidak ada yang menggerakkan. Hal itu bermula ketika Jiko Makulano, sebutan bagi Raja sekaligus pimpinan adat di daerah ini, yang kebetulan juga sekarang menjabat sebagai bupati Halmahera Utara, Ir. Hein Namotemo, yang sangat peduli terhadap budaya Tobelo. Ia tidak malu cemoohan orang untuk merevitalisasi kembali nilai-nilai budaya luhurnya. Ia menghidupkan kembali berbagai tradisi dalam konteks kekinian, misalnya O Hoya, tradisi  tarian cakelele yang biasa dikenal orang sebagai tarian perang. Demikian teriakan responsorial tradisional Hotu Yeeee, yang sebenarnya perintah untuk berperang dipakai sebagai salam dan perintah untuk memerangi kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan dan sebagainya.  
Sejak misionaris zending masuk ke Tobelo 145 tahun yang silam, sejarah menyatakan bahwa para missionaries melarang menggunakan bahasa Tobelo dan berbagai atribut budaya Tobelo, sehingga dampaknya banyak orang Tobelo yang tidak mengerti bahasa Tobelo apalagi budaya Tobelo. Beberapa budaya Tobelo diinterpretasi bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Dalam merevitalisasi budaya local yang hampir punah tersebut dalam konteks sekarang, perlu melakukan reinterpretasi budaya tersebut daalam kaitannya dengan agama yang telah dianut oleh masyarakat. Dan itu telah dilakukan oleh mereka dengan mengundang tokoh-tokoh agama, tokoh adat, budayawan, seniman, akademisi dan sebagainya untuk mencari titik temu.
Yang menarik bagi saya adalah persoalan revitalisasi budaya lokal (local wisdom, local genus) dalam konteks kekinian, serta bagaimana budaya lokal dapat dimanfaatkan dalam sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Budaya berperan dalam aturan main dalam kehidupan social mereka. Setiap hari Rabu pegawai pemerintah diwajibkan mengenakan pakaian adat masing-masing. Meskipun awalnya mendapat sorotan dari berbagai pihak, namun kini telah menjadi kebiasaan dan mengenakan busana tradisional telah menjadi kebiasaan dan kebanggaan akan identitas dan jatidiri mereka. Dalam Hari Ulang Tahun ke-4 Rumah Adat Hibualamo yang berdiri megah di tengah kota Tobelo, sekaligus peringatan 10 tahun rekonsiliasi damai di negeri ini, Bupati beserta istri, wakil bupati beserta istri rela tidak beralas kaki berjalan dari rumah dinasnya sebagai perlambang ikut merasakan sebagai rakyat.
Dalam perayaan tersebut semua elemen masyarakat terlibat dan diberikan peran. Setidaknya ada sepuluh komunitas adat yang terlibat seperti Jawa, Batak, Gorontalo, Makassar, Toraja, Minahasa, Ambon, termasuk Tobelo sendiri. Demikian juga tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan unsur pemerintahan bersama-sama bermusyawarah untuk membangun negeri mereka. Sikap toleransi dan saling menghargai terlihat dari kegiatan budaya. Kesenian setiap suku diberikan kesempatan untuk berkembang. Itu semua di Hibualamo. Hibualamo sebagai rumah adat memang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah untuk kebaikan.
Selain itu setiap tahun pemerintah mengapresiasi individu-individu terkait dengan yang berperan memajukan kebudayaan. Seniman yang berperan mengembangkan lagu-lagu daerah, pengembang tarian tradisional, penulis dan media, pelestari kesenian dan mengenalkan kesenian ke luar daerah. Pemerintah memberikan penghargaan dalam bentuk piagam dan materi. Ini mendorong kreativitas masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya. Ini hanya satu contoh saja bagaimana pemerintah yang punya kepedulian terhadap pelaku budayanya.
Kita tahu bahwa suku-suku lain juga pasti memiliki kearifan-kearifan lokal yang dapat divitalisasi kembali, khususnya nilai-nilai budayanya. Sebagai 
contoh misalnya di daerah saya, Karo. Orang Karo juga memiliki Rumah Adat. Mengapa satu per satu rumah adat Karo itu habis ditelan waktu ? Kita juga memiliki Jambur atau dikenal juga dengan sebutan Los Kuta. Kita memiliki budaya Runggu, beragam kesenian, kuliner, busana tradisional dan seterusnya yang perlu kita angkat dan lestarikan dalam konteks kekinian. Perlu ada upaya untuk mendata dan mengkaji sekaligus merevitalisasi kebudayaan kita yang juga sangat kaya. Reinterpretasi dalam tatanan glokal, global-lokal. Jangan-jangan kita telah mengalami alienasi budaya yang sangat parah. Kita tidak mengetahui lagi kebudayaan kita sendiri. Kita merasa asing terhadap budaya sendiri, bahkan bisa jadi tidak menyenangi atau bahkan membencinya. Mudah-mudahan jangan seperti itu yang terjadi.  
 
(Hotel Juliana, Tobelo, 19 April 2011).

Comments

muebles said…
It cannot really have success, I suppose so.

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal