Pers dan Kebudayaan Karo

Julianus P Limbeng

Kebudayaan merupakan sebuah proses panjang dan mengalami berbagai tantangan perubahan bahkan bisa jadi melelahkan dan kontroversial bagi masyarakat pendukungnya menjadikan dia ada sebagai identitas bersama atau ‘kebersaamaan’, yang kemudian menjadi semangat, semangat ke-Karoan. Dalam menciptakan semangat ke-Karoan ini adakah peran pers yang signifikan baik Karo sebagai budaya, identitas bersama dan Karo dalam ranah politik. Tentunya melewati dalam berbagai bentuk dan varian dalam skema ‘perjuangan’.

Perjuangan itu sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yaitu skema perjuangan yang dilakukan dengan cara peperangan dan adu senjata (pasukan) di medan laga. Hal ini dapat kita lihat dari gigihnya pahwalan-pahlawan dari Karo untuk mempertahankan daerah Karo (Indonesia) dari penjajahan asing, baik sebelum jaman kemerdekaan maupun pos-kemerdekaan Indonesia. Sisi yang lain adalah perjuangan dengan membangun kesadaran identitas bersama tadi lewat media cetak atau jalan pers. Sisi inilah yang ingin saya kemukakan, khususnya dalam membangun kebudayaan Karo.

Taufik Rahzen mengatakan tesis bangunan kebangsaan kita juga sebenarnya didirikan dari tradisi pers. Ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu ‘guru pergerakan’ adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. ‘Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express. Semaoen di usianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewiryo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu membahu bersuara dalam majalan Pemimpin. Demikian juga dengan Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Pikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.

Meskipun tingkat pendidikan mayoritas rakyat pada masa itu masih sangat rendah, para tokoh pegerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium penyampaian atau mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan yang sifatnya formal. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru dalam kerangka ke-Indonesiaan.

Di Karo, jika kita telisik berdasarkan sejarah persnya sebenarnya untuk meretas jalan membangun ke-Karoan juga telah dimulai dengan adanya pers Karo maupun orang-orang Karo yang berkecimpung dalam dunia pers, khususnya yang ada di daerah Sumatera Utara (Sumatera Timur) hingga merambah ke Jakarta. Dari catatan yang ada dapat kita lihat misalnya beberapa media Karo yang pernah ada, seperti Sora Karo yang terbit sekali sebulan. Media ini yang mulai terbit pada tahun 1920-an ini dimotori oleh Nereh Ginting yang berbasis di daerah Pancur Batu dengan isi mengenai ritual-ritual budaya Karo. Selain itu juga ada media Merga Silima yang pemberitaannya pada bidang keagamaan. Pada tahun 1924 (Mery Steedly mencatat tahun 1922) muncul Tjermin Karo yang dimotori oleh Mboelgah Sitepu. Media ini diterbitkan 2 kali seminggu, basisnya di daerah Karo Jahe, yaitu di Binjai dengan motto “Memajukan bangsa dan Tanah Air”. Media ini hanya bertahan selama 6 bulan.

Semangat mendirikan media ini dapat dilihat cukup besar pada masyarakat Karo. Pada tahun 1929 muncul Pandji Karo yang dimotori oleh G. Keliat, dan tahun berikutnya pada tahun 1930, muncul Sendjata Batak yang dimotori oleh Nerus Ginting Suka. Dalam catatan sejarah di Sumatera Timur, media ini merupakan salah satu media yang berperan dalam kebangsaan. Dan pada tahun 1930 -1931 di Kabanjahe juga muncul media baru Bintang Karo yang dimotori oleh Mahat Singarimbun.

Hingga tahun 50-an media Karo terus muncul seiring dengan masa-masa perjuangan. Terlong mulai muncul dan terbit di Medan pada taqhun 1950an dalam format stensilan, namun pada tahun 1960 pindah ke Jakarta dengan format majalah. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dan sebagian bahasa Karo. Dalam Terlong ini dapat kita lihat juga tentang adat Karo. Kemudian selanjutnya muncul Piso Surit. Setiap decade selalu saja ada media karo yang muncul. Di tahun 70-an lahir Buletin Makadjaya yang terbit dalam format stensilan yang dikelola oleh Mahasiswa Karo Djakarta, Karo Sada Kata (KSK). Di era 80-an juga lahir satu media yang cukup popular di kalangan Karo, yaitu Simaka dan Kamka. Di tahun 90-an di Medan lahir Gempaka dan di Jakarta lahir Soramido, dan Sinabung di Jakarta. Juga di Tanah Karo ada media Sibayak Post. Namun hingga kini dari sekian banyak media Karo yang pernah lahir, tidak banyak yang dapat bertahan, alias almarhum. Namun demikian dari sisi budaya, kehadiran mereka bukan tidak punya arti. Meminjam istilah Usman Pelly ia berjasa dalam mengemban misi budaya.

Era tahun 20-an sampai 60-an, meskipun ada terkait dengan perjuangan, namun di satu sisi media Karo juga telah berperan aktif dalam misi budaya. Setidaknya sampai hari ini, meskipun terjadi euphoria kebebasan pers, dan banyaknya muncul pers Karo dengan berbagai format, setidaknya misi budayanya masih sangat ‘kental’, meskipun tidak dapat dipungkiri terkadang membonceng berbagai macam kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tapi setidaknya dewasa ini ia tidak hanya berperan sebagai media perjuangan atau kepentingan saja. Dari tahun 20-an hingga kini, budaya Karo selalu saja hadir disana. Bahkan salah satu yang media yang memperkenalkan kebudayaan Karo untuk orang Karo adalah media ini. Dengan media Karo kita dapat membaca kembali tenang bilang-bilang Karo, ndung-ndungen, upacara-upacara adat, dan sebagainya.

Selain media cetak, dalam dunia maya juga muncul situs-situs Karo, milis group yang mendisukusikan berbagai wacana tentang Karo, serta bloger yang mengetengahkan berbagai hal tentang Karo, menunjukkan betapa peran media sangat signifikan memberikan ruang hidup atau bahkan memberi nafas baru (revitalisasi) budaya Karo tidak hanya bagi orang Karo, tetapi lebih mengglobal.

Jakarta, 27 Pebruari 2008.

Comments

Nafry Marmata said…
Wah... Salam Kenal, sangat menyenangkan membaca postingan ini. Sebagai salah satu Sub etnic Batak, rasanya saya berterimakasih atas postingannya... Di FN juga saya lait ada beberapa photo dari karo... wew terimakasih ... bro...

Popular posts from this blog

Kutai Timur

Drama Natal